Senin, 23 Maret 2015

Limfoma Non-Hodgkin (LNH)

Limfoma Non-Hodgkin (LNH)

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Limfoma Non-Hodgkin (LNH) adalah kelompok keganasan primer limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T dan kadang (amat jarang) berasal dari sel NK (“natural killer”) yang berada dalam sistem limfe; yang sangat heterogen, baik tipe histologis, gejala, perjalanan klinis, respon terhadap pengobatan, maupun prognosis. LNH merupakan kumpulan penyakit keganasan heterogen yang mempengaruhi sistem limfoid: 80% berasal dari sel B dan yang lain dari sel T. Pada LNH sebuah sel limfosit berproliferasi secara tak terkendali yang mengakibatkan terbentuknya tumor. Seluruh sel LNH berasal dari satu sel limfosit, sehingga semua sel dalam tumor pasien LNH sel B memiliki imunoglobulin yang sama pada permukaan selnya.
            Pada tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 54.900 kasus baru, dan 26.100 orang meninggal karena LNH. Di Amerika Serikat, 5% kasus LNH baru terjadi pada pria, dan 4% pada wanita per tahunnya. LNH secara umum lebih sering terjadi pada pria. Insidensi LNH meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan mencapai puncak pada kelompok usia 80-84 tahun. Saat ini angka pasien LNH di Amerika semakin meningkat dengan pertambahan 5-10% per tahunnya, menjadikannya urutan kelima tersering dengan angka kejadian 12-15 per 100.000 penduduk. Di Perancis penyakit ini merupakan keganasan ketujuh tersering. Di Indonesia sendiri LNH bersama-sama dengan penyakit Hodgkin dan leukemia menduduki urutan keenam tersering. Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya mengapa angka kejadian LNH terus meningkat. Adanya hubungan yang erat antara penyakit AIDS dan LNH kiranya memperkuat dugaan adanya hubungan antara LNH dengan infeksi.
Klasivikasi Limfoma Non Hodgkin
            Penggolongan histologis LNH merupakan masalah yang rumit dan sukar, yang kerap menggunakan istilah-istilah yang dimaksudkan untuk tujuan yang berbeda-beda sehingga tidak memungkinkan diadakannya perbandingan yang bermakna antara hasil dari berbagai pusat penelitian. Terdapat lebih dari 20 klasifikasi yang berbeda untuk NHL. Perkembangan terakhir klasifikasi yang banyak dipakai dan diterima di banyak pusat kesehatan adalah formulasi praktis (“Working Formulation”/WF) dan REAL/WHO (Revised European-American Classification of Lymphoid Neoplasms). WF menjabarkan karakteristik klinis dengan deskriptif histopatologis, namun belum menginformasikan jenis sel limfosit B atau T, maupun berbagai patologis klinis yang baru. WF membagi LNH atas derajat keganasan rendah, menengah dan tinggi yang mencerminkan sifat agresifitas mereka. Klasifikasi WHO/REAL beranjak dari karakter imunofenotif (sel B, sel T dan sel NK) dan analisa “lineage” sel limfoma. Klasifikasi terakhir ini diharapkan menjadi patokan baku cara berkomunikasi di antara ahli hematologi-onkologi medik.
1.      NHL derajat rendah
Ini termasuk penyakit seperti limfoma folikular dan makroglobulinemia Waldenström. Biasanya kelainan timbul lambat, dengan progresi yang lambat pula. Kelainan ini biasanya bisa dikontrol dengan kemoterapi oral. Seseorang dengan limfoma derajat rendah, jaringan limfoid terkait mukosa, yang berbatasan dengan lambung, dianggap terkait dengan infeksi Helicobacter pylori dan memberikan respon terhadap antibiotik. Sampai saat ini, belum tersedia penyembuhan limfoma derajat rendah. Harapan hidup median adalah 8 – 10 tahun, tetapi angka kematian bervariasi.
2.      NHL derajat menengah dan tinggi
Penyakit-penyakit ini adalah penyakit yang agresif dengan onset dan progresivitas yang cepat. Pasien dengan limfoma derajat sedang, jenis limfositik-nodular, pada awalnya cenderung berada pada stadium yang lebih lanjut, dengan sekitar 60 – 80 % insiden terkenanya sumsum tulang. Jaringan limfatik tonsilar pada orofaring dan nasofaring (disebut cincin Waldeyer) juga merupakan tempat yang diserang pada 15 – 30 % pasien. Limfoma Burkitt dan imunoblastik merupakan limfoma derajat tinggi dan mempunyai kecenderungan mengenai SSP. SSP juga merupakan daerah yang sering terkena pada pasien relaps dengan penyakit stadium IV bersama daerah lain yang sebelumnya terkena. Meskipun limfoma derajat sedang dan tinggi sangat agresif dan fatal tanpa pengobatan, limfoma ini berespon terhadap kemoterapi dan berpotensi untuk sembuh. Dengan kemoterapi intensif, 20 – 40 % pasien berusia < 60 tahun dapat sembuh. Sisanya meninggal karena penyakit ini.
1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa pengertian Limfoma Non Hodgkin?
1.2.2        Bagaimana etiologi dan faktor resiko limfoma non hodgkin?
1.2.3        Bagaimana Manifestasi klinis limfoma non hodgkin?
1.2.4        Bagaimana patofisiologi/WOC limfoma non hodgkin?
1.2.5        Bagaimana Klasifikasilimfoma non hodgkin?
1.2.6        Bagaimana Tahapan penyakit limfoma non hodgkin?
1.2.7        Bagaimana penatalaksanaan limfoma non hodgkin?

1.3  Tujuan Masalah
1.3.1        Untuk mengetahui pengertian limfoma non hodgkin.
1.3.2        Untuk mengetahui etiologi dan faktor resiko  limfoma non hodgkin.
1.3.3        Untuk mengetahui manifestasi klinis Limfoma non hodgkin.
1.3.4        Untuk mengetahui patofisiologi limfoma non hodgkin.
1.3.5        Untuk mengetahui Klasifikasi limfoma non hodgkin.
1.3.6        Untuk mengetahui tahapan penyakit pada limfoma non hodgkin
1.3.7        Untuk mengetahui penatalaksanaan limfoma non hodgkin

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Limfoma Non Hodgkin
Limfoma non hidgkin adalah keganasan limfosit-B dan sistem sel limfosit T. Kebanyakan pasien dengan limfoma hodking masuk dalam kategori besar karena gambaran klinisnya: nodular, tipe lamban dan menyebar, limfoma agresif. Untuk tujuan pengobatan, pembagian ini juga diklasifikasikan sebagai limfoma rendah, intermediet, atau derajat tinggi. Pengobatan pada limfoma non hodgkin meliputi radioterapi atau kemoterapi (biasanya kombinasi agen antineoplastik).
Lebih dari 45.000 pasein di diagnosis sebagai limfoma non hodgkin (LNH) setiap tahun di amerika serikat. Limfoma non hodgkin, khususnya limfoma susunan saraf pusat biasa ditemukan pada pasien dengan keadaan defisiensi imun dan yang mendapat obat-obat imunosupresif, seperti pada pasien dengan transplantasi ginjal dan jantung.
LNH adalah suatu penyakit yang heterogen. Bergantung pada gambaran histelogis tumomnya, perjalanan penyaldt penderita dapat bermacam-macam mulai dari yang perkembangannya amat lambat dan dapat disandang dengan baik sampai pada yang cepat berkembang menjadi fatal. Penderita-penderita penyakit LNH derajat keganasan rendah acapkali tidak memerlukan pengobatah selama bertahun-tahun, namun penyembuhan yang sempurna jarang terjadi. Sebaliknya beberapa kelompok dengan penyakit yang cepat menjadi fatal bila tidak diobati, mempunyai harapan untuk sembuh jika mendapat pengobatan yang tepat. Selain bergantung pada gambaran histologis tumor, pengobatan LNH bergantung juga pada tingkat penyakit penderita. Hingga saat ini belum ada keseragaman mengenai pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan dalam penatalaksanaan penderita penyakit LNH. Dinegar-negara maju acapkali dilakukan berbagai pemeriksaan yang rumit dan mahal untuk dapat memperoleh keterangan yang lengkap mengenai penyakit penderita. Selain biaya pemeriksaannya, biaya pengobatan penyait LNH juga sangat mahal, sedangkan hasil yang dicapai acapkali mengecewakan. Memperpanjang masa harapan hidup penderita dengan beberapa bulan mungkin pentingnya artinya dalam rangkaian up coba klinis untuk perbaikan pengobatan penderita di masa depan, tetapi agaknya tidak relevan untuk negara yang mempunyai keterbatasan dana seperti di indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengenal pola penyakit LNH di indonesia (meliputi aspek histologis, sitologis, imunologis dan klinis) serta menentukan strategi yang paling berdaya guna dan tepat guna dalam menetapkan diagnosis, tingkat penyaldt dan pengobatan penyakit LNH di negara ini, dengan mempertimbangkan hambatan segi kedokteran maupun ekonomi yang terdapat disini.
2.2 Etiologi dan Faktor Resiko Limfoma Non Hodgkin
Etiologi sebagian besar LNH tidak diketahui. Namun terdapat beberapa faktor resiko terjadinya LNH antara lain :
1.     ImunoDefisiensi: 25% kelainan herediter langka yang berhubungan dengan terjadinya LNH antara lain adalah: severe combined immunodeficiency, hypogammaglobulinemia, common variable immunodeficiency, Wiskott-Aldrich syndrome, dan ataxia-telangiectasia. Limfoma yang berhubungan dengan kelainan-kelainan tersebut seringkali dihubungkan pula dengan Epstein-Barr virus (EBV) dan jenisnya beragam, mulai dari hiperplasia poliklonal sel B hingga limfoma monoklonal.
2.     Agen Infeksius: EBV DNA ditemukan pada 95% limfoma Burkitt endemik, dan lebih jarang ditemukan pada limfoma Burkitt sporadik. Karena tidak pada semua kasus limfoma Burkitt ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap terjadinya limfoma Burkitt belum diketahui. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa infeksi awal EBV dan faktor lingkungan dapat meningkatkan jumlah prekursor yang terinfeksi EBV dan meningkatkan resiko terjadinya kerusakan genetik. EBV juga dihubungkan dengan posttransplant lymphoproliferative disorders (PTLDs) dan AIDS-associated lymphomas.
3.     Paparan Lingkungan dan Pekerjaan: Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan dengan resiko tinggi adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut organik.
4.     Diet dan Paparan Lainnya: Resiko LNH meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan ultraviolet.
Penyebab pasti limfoma Hodgkin maupun non-Hodgkin masih belum diketahui. Namun diperkirakan aktivasi abnormal gen tertentu mempunyai peran dalam timbulnya semua jenis kanker, termasuk limfoma
  • HODGKIN : Pada penyakit ini ditemukan adanya perkembangan sel B abnormal atau dinamakan sel Reed-Sternberg akibat pengaruh paparan virus epstein barr (EBV). Terkait Proses Transkripsi sel B yang terganggu.
  • NON HODGKIN : Pada limfoma jenis ini penyakit berkembang dari limfosit yang abnormal yang akan terus membelah dan bertambah banyak dengan tidak terkontrol akibat faktor keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteria (HIV, HCV, EBV, Helicobacter Sp) dan toksin lingkungan (herbisida, pengawet dan pewarna kimia). Pembelahan yang tak terkendali dari limfosit B dan T akibat mutasi sel menjadi sel ganas.
Penyebab pasti limfoma Hodgkin masih belum diketahui (idiopatik). Namun, orang yang mengidap penyakit ini atau yang sudah mengalami remisi memperlihatkan mengalami penurunan imunitas yang diperantarai oleh sel T. selain itu kelompok – kelompok kasus sporadic mengisyaratkan bahwa suatu virus, mungkin dari kelompok herpes, ikut berperan. Mungkin terdapat kecenderungan genetic untuk mengidap penyakit ini. Diperkirakan aktivasi gen abnormal tertentu mempunyai peran dalam timbulnya semua jenis kanker, termasuk limfoma. Penyebabnya tidak diketahui, walaupun beberapa ahli menduga bahwa penyebabnya adalah virus, seperti virus Epstein Barr dan penyakit ini tampaknya tidak menular. Namun terdapat beberapa faktor risiko terkait timbulnya penyakit limfoma, yaitu :
  Orang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau yang mendapat terapi imunosupresan memiliki risiko tinggi untuk timbulnya limfoma.
·         Orang yang sering kontak dengan herbisida atau pestisida, misalnya petani
·           Infeksi virus Epstien-Barr atau human T-cell lymphocytotropic virus (HTVL). HTVL menyebabkan limfoma sel T
·         Genetik
·           Jenis kelamin
2.3 Manifestasi Klinis
            Gejala yang biasa muncul pada pasien dengan Limfoma Non-Hodgkin yaitu           :
  1. Demam
  2. Berkeringat pada malam hari
  3. Kehilangan berat badan
  4. Keletihan
  5. Sakit perut
  6. Pembengkakan
  7. Nyeri
  8. Pembesaran kelenjar limfe
  9. Anoreksia
  10. Mual
Gejala awal yang dapat dikenali adalah pembesaran kelenjar getah bening di suatu tempat (misalnya leher atau selangkangan) atau di seluruh tubuh. Kelenjar membesar secara perlahan dan biasanya tidak menyebabkan nyeri.
Kadang pembesaran kelenjar getah bening di tonsil (amandel) menyebabkan gangguan menelan. Pembesaran kelenjar getah bening jauh di dalam dada atau perut bisa menekan berbagai organ dan menyebabkan:
1    Gangguan pernafasan
2        Berkurangnya nafsu makan
3        Sembelit berat
4        Nyeri perut
5        Pembengkakan tungkai

Jika limfoma menyebar ke dalam darah bisa terjadi leukemia. Limfoma dan leukemia memiliki banyak kemiripan. Limfoma non-Hodgkin lebih mungkin menyebar ke sumsum tulang, saluran pencernaan dan kulit. Pada anak-anak, gejala awalnya adalah masuknya sel-sel limfoma ke dalam sumsum tulang, darah, kulit, usus, otak dan tulang belakang; bukan pembesaran kelenjar getah bening. Masulknya sel limfoma ini menyebabkan anmeia, ruam kulit dan gejala neurologis (misalnya kelemahan dan sensasi yang abnormal).
Biasanya yang membesar adalah kelenjar getah bening di dalam, yang menyebabkan:
a. pengumpulan cairan di sekitar paru-paru sehingga timbul sesak nafas
b. penekanan usus sehingga terjadi penurunan nafsu makan atau muntah
c.   penyumbatan kelenjar getah bening sehingga terjadi penumpukan cairan.
2.4 WOC



2.5 Klasifikasi Limfoma Non Hodgkin
Ada 2klasifikasi besar  penyakit ini yaitu:
1.      Limfoma non Hodgkin agresif.
Limfoma non Hodgkin agresif kadangkala dikenal sebagai limfoma non Hodgkin tumbuh cepat atau level tinggi. Karena sesuai dengan namanya, limfoma non Hodgkin agresif  ini tumbuh dengan cepat. Meskipun nama ‘agresif’ kedengarannya sangat menakutkan, limfoma ini sering memberikan respon sangat baik terhadap pengobatan.Meskipun pasien yang penyakitnya tidak berespon baik terhadap standar pengobatan lini pertama,sering berhasil baik dengan kemoterapi dan transplantasi sel induk. Pada kenyataannya, limfoma nonHodgkin agresif lebih mungkin mengalami kesembuhan total daripada limfoma non Hodgkin indolen.
2.      Limfoma non Hodgkin  indolen.
Limfoma non Hodgkin indolen kadang-kadang dikenal sebagai limfoma non Hodgkin tumbuh lambat atau level rendah.  Sesuai dengan namanya, limfoma non Hodgkin indolen tumbuh hanya sangat lambat. Secara tipikal ia pada awalnya tidak menimbulkan gejala, dan mereka sering tetap tidak terditeksi untuk beberapa saat. Tentunya, mereka sering ditemukan secara kebetulan, seperti ketika pasien mengunjungi dokter untuk sebab lainnya. Dalam hal ini, dokter mungkin menemukan pembesaran kelenjar getah bening pada pemeriksaan fisik rutin. Kadangkala, suatu pemeriksaan, seperti pemeriksaan darah, atau suatu sinar-X, dada, mungkin menunjukkan sesuatu yang abnormal, kemudian diperiksa lebih lanjut dan ditemukan terjadi akibat limfoma non Hodgkin. Gejala yang paling sering adalah pembesaran kelenjar getah bening, yang kelihatan sebagai benjolan, biasanya di leher, ketiak dan lipat paha. Pada saat diagnosis pasien juga mungkin mempunyai gejala lain dari limfoma non Hodgkin. Karena limfoma non Hodgkin indolen tumbuh lambat dan sering tanpa menyebabkan stadium banyak diantaranya sudah dalam stadium lanjut saat pertama terdiagnosis.

2.6 Tahapan Penyakit
Penyebaran Limfoma dapat dikelompokkan dalam 4 stadium. Stadium I dan II sering dikelompokkan bersama sebagai stadium awal penyakit, sementara stadium III dan IV dikelompokkan bersama sebagai stadium lanjut.
a.    Stadium I : Penyebaran Limfoma hanya terdapat pada satu kelompok yaitu kelenjar getah bening.
b.   Stadium II : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, tetapi hanya pada satu sisi diafragma, serta pada seluruh dada atau perut.
c.    Stadium III : Penyebaran Limfoma menyerang dua atau lebih kelompok kelenjar getah bening, serta pada dada dan perut.
d.   Stadium IV : Penyebaran Limfoma selain pada kelenjar getah bening setidaknya pada satu organ lain juga seperti sumsum tulang, hati, paru-paru, atau otak.
Penentuan stadium merupakan salah satu pola penting dalam manajemen LNH yang bertujuan untuk mengetahui status penyakit dan memilih pengobatan yang relevan serta memudahkan evaluasi hasil terapi. Klasifikasi yang populer digunakan adalah klasifikasi menurut Arnn Arborr (1971) sebagai berikut:
2.7 Penatalaksanaan
            Terapi yang dilakukan biasanya melalui pendekatan multidisiplin. Terapi yang dapat dilakukan adalah:
1.    Radioterapi
     LNH sangat radiosensitif. Radioterapi ini dapat dilakukan untuk penyakit lokal, paliatif, dan stadium I limfoma indolen.
Terapi radiasi (atau radioterapi) menggunakan sinar energi tinggi untuk membunuh sel-sel NHL. Prosedur ini dapat membantu menyusutkan tumor dan mengendalikan rasa sakit.
Ada 2 tipe radioterapi yang digunakan untuk mengobati pasien dengan limfoma:
a.       Radiasi Eksternal: Mesin penyinar diarahkan pada bagian tubuh dimana terdapat kumpulan sel limfoma terbesar/terbanyak. Terapi yang terlokalisir ini hanya berdampak pada sel-sel yang terdapat pada area pengobatan. Umumnya pasien datang berobat ke rumah sakit atau klinik selama 5 kali dalam seminggu dan berjalan selama beberapa minggu.
b.      Radiasi Sistemik: Beberapa pasien Limfoma menerima suntikan yang berisi materi radioaktif yang menyebar ke seluruh tubuh. Materi radioaktif tersebut diikat pada sistem antibodi yang mengincar serta menghancurkan sel-sel limfoma.

2.    Kemoterapi, dapat dilakukan pada
a.       LNH indolen derajat ringan dengan menggunakan klorambusil atau siklofosfamid, dengan atau tanpa prednison.
b.      Limfoma stadium I atau II derajat menengah atau tinggi, biasanya berespons baik terhadap kombinasi kemoterapi dengan atau tanpa radioterapi. Angka penyembuhan sekitar 80-90%.
c.       Limfoma agresif derajat menengah atau tinggi, seperti limfoblastik atau limfoma burkitt, dapat langsung mendapatkan regimen kombinasi kemoterapi, seperti CHOP (siklofosfamid, doksorubisnis, vinkristin, dan prednison)

Pengobatan Kemoterapi menggunakan obat yang disebut cytotoxics. Obat ini membunuh sel kanker, namun juga dapat membunuh sel-sel normal seperti sel darah. Dengan demikian komplikasi seperti anemia dan rentan terhadap infeksi mungkin terjadi. Karena itu, infeksi mendadak dan infeksi yang mengancam keselamatan jiwa saat tingkat sel darah putih rendah, sangat dikhawatirkan.

3.    Kombinasi radioterapi dan kemoterapi setelah biopsi bedah, biasa dilakukan sebagai modalitas pengobatan.
4.    Terapi biologis
Prosedur ini umumnya terdiri dari monoclonal antibodies, yang terdiri dari molekul-molekul protein yang dirancang khusus untuk mengikat sel-sel limfoma tertentu (melalui cell serface markers) dan membunuh mereka. Contoh dari monoclonal antibodies MabThera untuk limfoma sel B yang memiliki CD-20 surface markers dan campath untuk limfoma sel T.
5.    Pencangkokan sel punca
Prosedur ini dapat dilakukan sebagai pengobatan limfoma, dalam konteks bila limfoma kembali menyerang. Prosedur ini juga dikenal sebagai kemoterapi dosistinggi. Pada prinsipnya, prosedur ini menggunakan dosis besar kemoterpi untuk membunuh atau mengatasi sel limfoma yang melakukan perlawanan. Sel punca kemudian digunakan untuk “menyelamatkan” pasien agar efek samping dari prosedur ini dapat diatasi dengan cepat. 
            Beberapa penderita bisa mengalami kesembuhan total, sedangkan penderita lainnya harus menjalani pengobatan seumur hidupnya. Kemungkinan penyembuhan atau angka harapan hidup yang panjang tergantung kepada jenis limfoma dan stadkum penyakit pada saat pengobatan dimulai. Biasanya jenis yang berasal dari limfosit T tidak memberikan respon sebaik limfosit B.
            Angka kesembuhan juga menurun pada:
a.       Penderita yang berusia diatas 60 tahun
b.      Limfoma yang sudah menyebar keseluruh tubuh
c.       Penderita yang memiliki tumor (pengumpulan sel-sel limfoma) yang besar
d.      Penderita yang fungsinya dibatasi oleh kelemahan yang berat dan ketidak mampuan bergerak
Penderita pada stadium awal (stadium I dan II) seringkali diobati dengan terapi penyinaran yang terbatas pada sisi limfoma dan daerah di sekitarnya. Terapi penyinaran biasanya tidak menyembuhkan limfoma tingkat rendah, tetapi dapat memperpanjang harapan hidup penderita sampai 5-8 tahun.
Terapi penyinaran pada limfoma tingkat menengah biasanya akan memperpanjang harapan hidup penderita sampai 2-5 tahun, sedangkan pada limfoma tingkat tinggi hanya 6 bulan sampai 1 tahun. Jika dimulai sesegera mungkin, pemberian kemoterapi dengan atau tanpa terapi penyinaran pada limfoma tingkat menengah dan tingkat tinggi, bisa menyembuhkan lebih dari separuh penderitanya.
Sebagian besar penderita sudah mencapai stadium lanjut (stadium III dan IV) pada saat penyakitnya terdiagnosis. Penderita limfoma tingkat rendah mungkin tidak memerlukan pengobatan segera, tetapi harus menjalani pemeriksaan sesering mungkin untuk meyakinkan bahwa penyakitnya tidak menyebabkan komplikasi yang serius.
Kemoterapi dilakukan pada penderita limfoma tingkat menengah. Penderita limfoma tingkat tinggi memerlukan kemoterapi intensif segera karena penyakit ini tumbuh dengan cepat.
Tersedia beberapa sediaan kemoterapi yang sangat efektif. Obat kemoterapi bisa diberikan tunggal (untuk limfoma tingkat rendah) atau dalam bentuk kombinasi (untuk limfoma tingkat menengah dan tingkat tinggi). Pemberian kemoterapi disertai faktor pertumbuhan dan pencangkokan sumsum tulang masih dalam tahap penelitian.
Pengobatan baru yang masih dalam penelitian adalah antibodi monoklonal yang telah digabungkan dengan racun, yang memiliki bahan racun (misalnya senyawa radioaktif atau protein tanaman yang disebut risin), yang menempel di antibodi tersebut. Antibodi ini secara khusus akan menempel pada sel-sel limfoma dan melepaskan bahan racunnya, yang selanjutnya akan membunuh sel-sel limfoma tersebut.
Pada pencangkokan sumsum tulang, sumsum tulang diangkat dari penderita (dan sel limfomanya dibuang) atau dari donor yang sesuai dan dicangkokkan ke penderita. Prosedur ini memungkinkan dilakukannya hitung jenis darah, yang berkurang karena kemoterapi dosis tinggi, sehingga penyembuhan berlangsung lebih cepat. Pencangkokan sumsum tulang paling efektif dilakukan pada penderita yang berusia dibawah 55 tahun dan bisa menyembuhkan sekitar 30-50% penderita yang tidak menunjukkan perbaikan terhadap pemberian kemoterapi.
Tetapi pencangkokan sumsum tulang memiliki resiko, sekitar 5% penderita meninggal karena infeksi pada minggu pertama, sebelum sumsum tulang membaik dan bisa menghasilkan sel darah putih yang cukup untuk melawan infeksi. Pencangkokan sumsum tulang juga sedang dicoba dilakukan pada penderita yang pada awalnya memberikan respon yang baik terhadap kemoterapi tetapi memiliki resiko tinggi terjadinya kekambuhan.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN LIMFOMA NON HODGKIN
3.1 Pengkajian
3.1.1 Pengumpulan data
a. Identitas
Idebtitas terdiri dari Nama, umur, jenis kelamin, agama , suku dana kebangsaan, pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor regester, tanggal Masuk Rumah Sakit , diagnosa medis
b.      Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh tidak nyaman karena adannya bejolan.
c.       Riwayat penyakit sekarang
Pada umumnya pasien dengan limfoma didapat keluhan benjolan terasa nyeri bila ditelan kadang-kadang disertai dengan kesulitan bernafas, gangguan penelanan, berkeringat di malam hari. Pasien biasanya mengalami demam dan disertai dengan penurunan BB.
d.      Riwayat kesehatan Dahulu
Pada Limfoma biasanya diperoleh riwayat penyakit seperti pembesaran pada area   leher , ketiak dan lain-lain. pasien dengan transplantasi ginjal atau jantung.



e.       Riwayat kesehatan keluarga
Melihat apakah terdapat riwayat pada keluarga dengan penyekit vaskuler : HT, penyakit metabolik :DM atau penyakit lain yang pernah diderita oleh keluarga pasien
  1. ADL
    1. Nutrisi : Perlu dikaji keadaan makan dan minum pasien meliputi : porsi yang dihabiskan susunan menu, keluhan mual dan muntah, sebelum atau pada waktu MRS, dan yang terpenting adalah perubahan pola makan setelah sakit, terutama menyangkut dengan keluhan utama pasien yaitu kesulitan menelan
    2. Istirahat tidur : dikaji kebiasaan tidur siang dan malam, berapa jam sehari dan apakan ada kesulitan waktu tidur dan bagaimana perunbahannya setelah sakit klien dengan LNH
    3. Aktifitas : Aktifitas dirumah atau dirumah sakit apakah ada kesenjangan yang berarti misalnya pembatasan aktifitas, pada klien ini biasanya terjadi perubahan aktifitas karena adanya limfoma dan penuruna aktifitas sosial karena perubahan konsep diri
    4. Eliminasi : Mengkaji kebiasaan eliminasi alvi dan urin meliputi jumlah, warna, apakah ada gangguan.
    5. Personal Hygiene : mengkaji kebersihan personal Hygiene meliputi mandi, kebersihan badan, gigi dan mulut, rambut, kuku dan pakaian dan kemampuan serta kemandirian dalam melakukan kebersihan diri
    6. Data Psikologi
Perlu dikaji konsep diri apakah ada gangguan dan bagaimana persepsi klien akan penyakitnya terhadap konsep dirinya

Perlu dikaji karena pasien sering mengalami kecemasan terhadap penyakit dan prosedur perawatan
  1. Data Sosial
Bagaimana hubungan klien dengan keluarga dan bagaiman peran klien dirumah dan dirumah sakit. Pada klien dengan LNH mungkin terjadi gangguan interaksi sosial karena perubahan body image sehingga pasien mungkin menarik diri
2.      Data Spiritual
Bagaimana persepsi klien terhadap penyakit dan hubungan dengan agama yang dianut
3.      Pemeriksaan Fisik
Secara umum
  1. Meliputi keadaan pasien
  2. Kesadaran pasien
  3. Observasi tanda – tanda vital : tensi, nadi, suhu dan respirasi
  4. TB dan BB untuk mengetahui keadaan nutrisi
Secara khusus :
Dilakukan secara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi yang meliputi dari kepala ke kaki terhadap semua organ tubuh antara lain
  1. Rambut
  2. Mata telinga
  3. Hidung mulut
  4. Tenggorokan
  5. Telinga
  6. Leher sangat penting untuk dikaji secara mendetail karena LNH berawal pada serangan di kelenjar lymfe di leher mel;iputi diameter (besar), konsistensi dan adanya nyeri tekan atau terjadi pembesaran
  7. Dada Abdomen
  8. Genetalia
  9. Muskuloskeletal
  10.  integumen
  11. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium. EKG, Rontgen thoraks serta therapy yang  diperoleh klien dari dokter
3.1.1 Analisa Data
Data yang dikumpulkan dikelompokkan meliputi : data subyektif dan data obyektif kemudian dari data yang teridentifikasi masalah dan kemungkinan penyebab dapat ditentukan yang menjadi acuan untuk menentukan diagnosa keperawatan.
3.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan penyakit Limfoma Non-Hodgkin diantaranya     :
  1. Hipertermi berhubungan dengan perubahan rangsangan imunologik akibat penyakit
  2. Nyeri berhubungan dengan penekanan saraf oleh tumor
  3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi tidak adekuat (mual, anoreksia, iritasi lambung)
  4. Ansietas berhubungan dengan kurang informasi mengenai penyakit yang diderita (Limfoma Non-Hodgkin).
  5. RENCANA KEPERAWATAN
No
Diagnosa
Tujuan & kriteria hasil
Rencana tindakan
Rasional
1
Hipertermi b/d perubahan rangsangan imunologik akibat penyakit
Setelah dilakukan perawatan selama 2×24 jam diharapkan suhu tubuh kembali normal dengan kriteria hasil :
  1. Suhu tubuh dalam batas normal (36,5- 37o C)
  2. Pasien merasa nyaman
  3. Kaji penyebap hipertermi
  4. Obervasi suhu setiap 4 jam
  5. Jelaskan pada pasien pentingnya mempertahankan masukan cairan yang adekuat untuk mencegah dehidrasi secara oral bila tidak ada kontraindikasi atau secara intravena
  6. Ajarkan upaya mengatasi hipertermi yaitu : kompres, sirkulasi cukup, pakaian longgar dan kering, pembatasan aktivitas
  7. Kolaborasi dengan dokter untuk terapi farmakologi/ pemberian antipiretik
  8. Mengetahui informasi dasar untuk perencanaan dan validasi data
  9. Mengetahui perkembang-an kondisi pasien
  10. Hipertermi dapat mengakibatkan dehidrasi
  11. Membantu menurunkan suhu tubuh
  12. Membantu mengembalikan suhu tubuh kembali normal


2
Nyeri b/d penekanan saraf oleh tumor (proses penyakit)
Setelah dilakukan perawatan selama 2×24 jam diharapkan  nyeri akut yang dirasakan pasien berkurang sampai dengan hilang dengan kriteria hasil :
  1. Keluhan nyeri berkurang
  2. Pasien tampak rileks
  3. Skala nyeri 0
  4. Kaji saat timbulnya nyeri, tentukan tingkat nyeri yang dialami
  5. Observasi TTV
  6. Kaji pola istirahat
  7. Ajarkan teknik relaksasi/distraksi
  8. Kolaborasi pemberian analgetik
  9. Mengetahui kapan terjadinya nyeri, pola nyeri dan membantu dalam menentukan penanganan yang tepat
  10. Vital sign merupakan acuan untuk mengetahui Keadaan umu pasien
  11. Membantu mengurangi nyeri
  12. Membantu mengurangi nyeri dan membuat pasien nyaman
  13. Mengurangi nyeri yaitu dengan menghambat pembentukan prostaglandin


3
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake nutrisi tidak adekuat (mual, anoreksia, iritasi lambung)
Setelah dilakukan perawatan selama 3×24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil :
  1. Terjadi peningkatan berat badan
  2. Peningkatan status nutrisi
  3. Nafsu makan mening-kat
  4. Mual muntah berkurang
  5. Observasi intake makanan
  6. Timbang berat badan
  7. Berikan asupan nutrisi sedikit tapi sering
  8. Jaga kebersihan mulut pasien
  9. Atur posisi semifowler saat memberikan makanan
  10. Sajikan makanan yang mudah dicerna
  11. Selingi makan dengan minum
  12. Kolaborasi dengan tim gizi untuk pemberian diet  yang tepat
  13. Mengetahui kebutuhan nutrisi pasien
  14. Mengetahui perkembang-an kesehatan dan keberhasilan terapi
  15. Meningkatla intake makanan
  16. Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan pasien
  17. Mengurangi regurgitasi
  18. Meningkatkan selera makan makan dan intake makan
  19. Memudahkan makanan masuk
  20. Menentukan diit yang tepat untuk pasien


4
Ansietas b/d kurang informasi tentang penyakit yang diderita.
Setelah dilakukan perawatan selama 1×24 jam diharapkan cemas berkurang dengan kriteria hasil :
  1. Pasien tidak tampak gelisah
  2. Pasien mengetahui tentang penyakitnya
  3. Secara verbal pasien mengatakan tidak cemas lagi
  4. Kaji penyebap dan tingkat kecemasan
  5. Berikan penjelasan tentang penyakit, pencegahan dan penyembuhannya
  6. Bicara dengan pelan dan tenang menggunakan bahasa yang sederhana
  7. Beri fasilitas informasi yang cukup
  8. Ajarkan teknik relaksasi dan berpikir positif
  9. Jaga ketenangan lingkungan
  10. Mengetahui penyebap cemas dan sebagai acuan dalam perencanaan tindakan selanjutnya
  11. Menambah informasi pasien tentang penyakitnya
  12. Bahasa yang sederhana mudah dimengerti pasien
  13. Memudahkan pasien memperoleh informasi tentang penyakitnya
  14. Menenangkan pikiran dan mengurangi cemas
  15. Menenagkan pikiran dan mengurangi cemas



3.3  Implementasi
Pelaksanaan merupakan pengolahan dari perwujudan rencana tindakan yang meliputi beberapa kegiatan yaitu validasi rencana tindakan keperawatan mendokumentasikan rencana tindakan keperawatan, memberikan asuhan keperawatan dan mengumpulkan data (Lismidar, 1990).
3.4  EVALUASI
  1. Tujuan tercapai : kx mampu menunjukkan prilaku pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan.
  2. Tujuan tercapai sebagian : kx mampu menunjukkan prilaku Hp hanya sebagian dari tujuan yang diharapkan. 
  3. Tujuan tidak tercapai : bila kx tidak mampu atau tidak sama sekali menunjukkan prilaku yang harapkan sesuai dengan tujuan yang diharapkan (Lismidar, 1990)

BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Limfoma Non-Hodgkin adalah suatu keganasan primer pada jaringan limfoid yang bersifat padat. Penyebap LNH belum diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhinya seperti usia, gender, ras, pajanan zat kimia dan radiasi, infeksi virus serta kelainan dan kelemahan sistem imun.
Gejala klinis pada sebagian besar orang adalah asimptompik yaitu tidak memunculkan gejala, namun pada beberapa orang yang terkena biasanya mengalami demam, berkeringat pada malam hari, dan mengalami penurunan berat badan. Penanganan LNH secara medis dilakukan sesuai dengan stadium penyakit, yang mana dapat berupa pengobatan secara farmakologik maupun dengan terapi.
Asuhan keperawatan pasien dengan penyakit Limfoma Non-Hodgkin diberikan sesuai dengan diagnosa keperawatan yang muncul sehingga penanganan yang diberikan dapat dilakukan dengan tepat.

3.2 Saran
Limfoma Non-Hodgkin dapat dihindari/dikurangi kemungkinana terjadinya dengan  mengurangi faktor risiko seperti pajanan zat kimia berbahaya dan radiasi yang dapat menimbulkan risiko terjadinya LNH. Selain itu dikatakan mengkonsumsi  makanan yang bai dan sehat, istirahat yang cukup serta menjalankan prilaku hidup sehat juga dapat membantu mengurangi risiko terkena penyakit ini. 
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Setiawan, Lyana. 2002. Kapita Selekta Hematologi. EGC. Jakarta
Sylvia A.price, wilson Lorraine M. 2006. Patofisiologi. EGC. Jakarta
Arif Mansjoer, Triyanti Kuspuji, dkk. 2001. Kapita selekta kedoktern. Jakarta
Marilynn E.Doenges, Moorhouse Mary Frances, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Konsep Bencana