Selasa, 13 Oktober 2015

HIPERTENSI

UMSurabaya S 1 Keperawatan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg ( Smith Tom, 1995 ). Menurut WHO, penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95 mmHg ( Kodim Nasrin, 2003 ). Hipertensi dikategorikan ringan apabila tekanan diastoliknya antara 95 – 104 mmHg, hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya antara 105 dan 114 mmHg, dan hipertensi berat bila tekanan diastoliknya 115 mmHg atau lebih. Pembagian ini berdasarkan peningkatan tekanan diastolic karena dianggap lebih serius dari peningkatan sistolik ( Smith Tom, 1995 ).

Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat komplikasikardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90mmHg.

Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
a.    Penatalaksanaan Non Farmakologis.

1.    Diet
2.    Aktivitas.
3.    Edukasi Psikologis

b.    Penatalaksanaan Farmakologis.
Pada hipertensi sekunder, penatalaksanaan farmakologis tidak hanya focus pada hipertensinya saja, melainkan pada penyakit yang dapat menyebabkan hipertensi itu muncul. Secara garis besar terdapat bebrapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi yaitu:
1.      Mempunyai efektivitas yang tinggi.
2.      Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal.
3.      Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4.      Tidak menimbulakn intoleransi.
5.      Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
6.      Memungkinkan penggunaan jangka panjang.
Untuk dapat menggunakan obat antihipertensi yang rasional, maka perlu dipahami tempat kerja dan mekanisme kerja masing-masing obat. Secara umum, terdapat 7 macam golongan obat, yaitu diuretic, ACE-I, ARB, CCB, antiadrenergik, vasodilator, dan antagonis reseptor mineralokortikoid.
1.2              Tujuan

1.2.1        Tujuan Umum
Mahasiswa mengetahui, memahami dan mampu menyusun asuhan keperawatan klien dengan hipertensi.

1.2.2        Tujuan Khusus
1.      Mengetahui dan memahami definisi hipertensi
2.      Mengetahui dan memahami klasifikasi hipertensi
3.      Mengetahui dan memahami etiologi hipertensi
4.      Mengetahui dan memahami patofisiologi hipertensi
5.      Mengetahui dan memahami WOC hipertensi
6.      Mengetahui dan memahami manifestasi klinis hipertens
7.      Mengetahui dan memahami komplikasi hipertensi sekunder
8.      Mengetahui dan memahami pemeriksaan fisik hipertensi
9.      Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik hipertensi
10.  Mengetahui dan memahami penatalaksanaan hipertensi
11.  Mengetahui dan memahami prognosis hipertensi sekunder

1.3              Rumusan Masalah
1.      Apa definisi hipertensi ?
2.      Apa saja klasifikasi hipertensi ?
3.      Apa saja etiologi hipertensi ?
4.      Bagaimana patofisiologi hipertensi ?
5.      Bagaimana WOC hipertensi ?
6.      Apa saja manifestasi klinis hipertensi ?
7.      Apa saja komplikasi hipertensi ?
8.      Apa saja pemeriksaan fisik hipertensi ?
9.      Apa saja pemeriksaan diagnostik hipertensi ?
10.  Bagaimana penatalaksanaaan hipertensi ?
11.  Bagaimana prognosis hipertensi ?










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1     Definisi

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg ( Smith Tom, 1995 ). Menurut WHO, penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95 mmHg ( Kodim Nasrin, 2003 ). Hipertensi dikategorikan ringan apabila tekanan diastoliknya antara 95 – 104 mmHg, hipertensi sedang jika tekanan diastoliknya antara 105 dan 114 mmHg, dan hipertensi berat bila tekanan diastoliknya 115 mmHg atau lebih. Pembagian ini berdasarkan peningkatan tekanan diastolic karena dianggap lebih serius dari peningkatan sistolik ( Smith Tom, 1995 ).
Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik). Tekanan darah kurang dari 120/80 mmHg didefinisikan sebagai "normal". Pada tekanan darah tinggi, biasanya terjadi kenaikan tekanan sistolik dan diastolik. Hipertensi biasanya terjadi pada tekanan darah 140/90 mmHg atau ke atas, diukur di kedua lengan tiga kali dalam jangka beberapa minggu.

2.2 Klasifikasi

Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas : ( Darmojo, 1999 )
Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan / atau tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg. Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.

Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan (Lany Gunawan, 2001) yaitu:
1.             Hipertensi esensial (primer) : yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
2.             Hipertensi sekunder : yaitu hipertensi yang disebabkan oleh penyakit sistemik lain. misalnya gangguan hormon (Gushing), penyempitan pembuluh darah utama ginjal (stenosis arteri renalis, akibat penyakit ginjal (glomerulonefritis)},kelainan pada kelenjar adrenal, kelainan pada arteri aorta, dan penyakit sistemik lainnya (lupus nefritis). Penggunaan obat kontrasepsi oral, penyalahgunaan alkohol yang kronis dan kehamilan juga bisa memicu munculnya hipertensi sekunder ini.Penderita biasanya menampakkan tanda tanda dan gejala yang berhubungan dengan penyakit utama yang dideritanya. Hipertensi ini hanya terjadi pada 5% kasus pasien dengan hipertensi.


2.3     Etiologi
Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi : ( Edward  K Chung, 1995 )
1.      Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
2.      Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis.

2.4     Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitiv terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi.
Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer (Brunner & Suddarth, 2002).
Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi palsu” disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga tidak dikompresi oleh cuff sphygmomanometer (Darmojo, 1999).












2.5     WOC

ECV
 

Curah jantung 


 

TPR
 

Aldosteron
 

Kortisol
 

Tumor korteks adrenal
 

Katekolamin meningkat
 

Tumor medula  adrenal
 

TPR
 

Retensi natrium
 

Iskemia ginjal
 

Stenosis arteri renalis
 

Berbagai penyakit ginjal
 

Penurunan masa ginjal
 







Efek peningkatan katekolamin
MNMNEfek peningkatan katekolamin
 







Curah jantung
 

Bentuk hipertensi lain
(kardiovakuler, neurogenik, obat)
 
                                                                                                                                     
 





                                                                                       
 











2.6       Manifestasi Klinis

Hipertensi biasanya bersifat asimtomatik sampai terjadi kerusakan organ target, Gejala klasik yang sering terjadi ialah sakit kepala ,epistaksis , pusing dan tinitus yang berhubungan dengan naiknya tekanan darah. Fase hipertensi yang berbahaya bisa ditandai oleh nyeri kepala dan hilangnya penglihatan (papiledema).
Manifestasi klinis dari hipertensi adalah sebagai berikut : dijelaskan dan diuraikan
1.         Pusing
2.         Mudah marah
3.         Telinga berdengung
4.         Mimisan (jarang)
5.         Sukar tidur
6.         Sesak nafas
7.         Rasa berat di tengkuk
8.         Mudah lelah
9.         Mata berkunang-kunang


Gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai adalah :
1.             Gangguan penglihatan
2.             Gangguan saraf
3.             Gagal jantung
4.             Gangguan fungsi ginjal
5.             Gangguan serebral (otak) yg mengakibatkan kejang dan pendarahan pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan, gangguan kesadaran hingga koma.

Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala; meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak). Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan; yang bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal.
Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala berikut:
1.             sakit kepala
2.             kelelahan
3.             mual
4.             muntah
5.             sesak nafas
6.             gelisah
7.             pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal.

Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut ensefalopati hipertensif, yang memerlukan penanganan segera.
2.7     Komplikasi

Organ organ tubuh sering terserang akibat hipertensi anatara lain mata
berupa perdarahan retina bahkan gangguan penglihatan sampai kebutaan,
gagal jantung, gagal ginjal, pecahnya pembuluh darah otak.

2.8       Pemeriksaan Fisik 

1.             Melihat penampakan pasien secara umum seperti apakah terdapat moon face dan obesitas trunkal yang biasa terdapat pada sindrom Chusing.
2.             Pengukuran tinggi dan berat serta kalkulasi BMI (Body Mass Index) yaitu berat dalam kg dibagi tinggi dalam m².
3.             Pengukuran tekanan darah dan nadi. Yaitu dengan membandingkan lengan kontralateral pada keadaan berbaring dan berdiri.
4.             Pemeriksaan abdomen untuk mengetahui adanya pembesaran ginjal, massa, kandung kemih yang distensi
5.             Pemeriksaan system kardiovaskuler terutama ukuran jantung, untuk mengetahui apakah terdapat hipertrofi ventrikel kiri dan dekompensasi kordis, bukti adanya gagal jantung, penyakit arteri karotis, renal, dan perifer lain serta koarktasio aorta.
6.             Pemeriksaan paru adanya ronkhi dan bronkhospasme serta bising abdomen, pembesaran ginjal serta tumor yang lain.
7.             Pemeriksaan fundus optikus dan system syaraf untuk mengetahui kemungkinan adanya kerusakan serebrovaskuler.
8.             Palpitasi kelenjar tiroid
9.             Palpasi ekstremitas bawah untuk pemeriksaan edema dan nadi
10.         Auskultasi bruits pada karotis, abdominal dan femoral

2.9       Pemeriksaan Diagnostik

1.             Hitung darah lengkap ( complete blood cells count ) meliputi pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, untuk menilai viskositas dan indikator faktor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.
2.             Kimia darah
a.    BUN, kreatinin : peningkatan kadar menandakan penurunan perfusi atau faal renal
b.    Serum glukosa : hiperlisemia ( diabetes mellitus adalah presipitator hipertensi ) akibat dari peningkatan kadar katelokolamin
c.    Kadar kolesterol atau trigliserida : peningkatan kadar mengindikasikan predisposisi pembentukan plaque atheromatus.
d.   Studi tiroid ( T3 dan T4 ) : menilai adanya hipertiroidisme yang berkontribusi terhadap vasokontriksi dan hipertensi.
e.    Asam urat : hiperuricemia merupakan implikasi resiko hipertensi.
3.             Elektrolit
a.    Serum potassium atau kalium ( hipokalemia mengindikasikan adanya aldosteronisme atau efek samping terapi diuretik )
b.    Serum kalsium bila meningkat berkontribusi terhadap hipertensi
4.             Urine
a.    Analisis urine adanya darah, protein, glokosa dalam urine mengindikasikan disfungsi renal atau diabetes.
b.    Urine VMA ( cathecholamine metabolite ) : peningkatan kadar mengindikasikan adanya pheochromacytoma.
c.    Steroid urine : peningkatan kadar mengindikasikan hiperadrenalisme. Pheochromacytoma atau disfungsi pituitary , sindrom Cushing’s : kadar resis juga meningkat.
5.             Radiologi
a.    Intra Venous Pyelografi (IVP) : mengindikasikan penyebab hipertensi seperti renal pharenchymal disease . urolithiasis , benign prostate hyperplasia ( BPH )
b.    Rontgen toraks : menilai adanya klasifikasi obstruktif katup jantung , deposit kalsium pada aorta, dan pembesaran jantung .
6.             EKG : menilai adanya hipertrofi miokard , pola strain , gangguan konduksi atau disritmia

2.10   Penatalaksanaan

Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat komplikasikardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90mmHg. Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :

2.9.1   Penatalaksanaan Non Farmakologis.

Penatalaksanaan non farmakologis digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagai tindakan suportif padahipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini meliputi :

1.  Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr . Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh. Penurunan BB dapat menurunkan tekanan darah dan diimbangi dengan penurunan aktivitas rennin dalam plasma dan kadar adosteron dalam plasma.
2.   Aktivitas.
Klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan dengan batasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti berjalan, jogging, bersepeda atau berenang.  Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah olahraga yang mempunyai prinsip yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda, berenang dan lain-lain. Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Lamanya latihan berkisar antara 20 ± 25 menit berada dalam zona latihan. Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perminggu.
3.                                                 Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
a.   Tehnik Biofeedback 
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal. Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan somatik seperti nyeri kepala danmigrain, juga untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.
b.   Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan,dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks.
c.    Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.

2.9.2  Penatalaksanaan Farmakologis.

Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita dapat bertambah kuat. Pada hipertensi sekunder, pengobatannya tidak hanya terfokus pada hipertensinya saja, melainkan juga pada penyakit yang menyebabkan hipertensi sekunder. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup penderita. Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi ( JOINT NATIONALCOMMITTEE ON DETECTION, EVALUATION AND TREATMENT OF HIGH BLOOD PRESSURE,USA, 1988 ) menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium, atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lainyang ada pada penderita. Pengobatannya meliputi :
a.    Step 1 : Obat pilihan pertama
Obat diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor 
b.    Step 2 : Alternatif yang bisa diberikan
Dosis obat pertama dinaikkan dan diganti jenis lain dari obat pilihan pertama. Selanjutnya ditambah obat ke-2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta blocker, Ca antagonis, Alpablocker, clonidin, reserphin, vasodilator 
c.    Step 3 :  Alternatif yang bisa ditempuh
Obat ke-2 diganti. Ditambah obat ke-3 jenis lain.
d.   Step 4 : Alternatif pemberian obatnya
Ditambah obat ke-3 dan ke-4. Re-evaluasi dan konsultasi.Follow Up untuk mempertahankan terapi. Untuk mempertahankan terapi jangka panjang, memerlukan interaksi dan komunikasi yang baik antara pasien dan petugas kesehatan ( perawat, dokter ) dengan cara pemberian pendidikan kesehatan.
Secara garis besar terdapat bebrapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi yaitu:
1.      Mempunyai efektivitas yang tinggi.
2.      Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal.
3.      Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4.      Tidak menimbulakn intoleransi.
5.      Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
6.      Memungkinkan penggunaan jangka panjang.
Untuk dapat menggunakan obat antihipertensi yang rasional, maka perlu dipahami tempat kerja dan mekanisme kerja masing-masing obat. Secara umum, terdapat 7 macam golongan obat, yaitu diuretic, ACE-I, ARB, CCB, antiadrenergik, vasodilator, dan antagonis reseptor mineralokortikoid. Dosis obat-obat tersebut dapat dilihat pada keterangan di bawah ini.
1.             Diuretic
          Diuretic memiliki efek antihipertensi dengan cara menurunkan volume ekstraseluler dan plasma sehingga terjadi penurunan curah jantung. Thiazide menghambat reabsorbsi Na+ di segmen kortikal ascending limb, loop Henle dan pada bagian awal tubulus distal. Pada studi ALLHAT menunjukan bahwa diuretika golongan thiazide lebih baik dalam mencegah komplikasi kardiovaskular dibandingkan dengan ACE-I dan CCB, disamping itu harganya tidak mahal, sehingga dianjurkan sebagai obat lini pertama hipertensi baik sebagai monoterapi ataupun dengan kombinasi golongan lain. Pada penggunaan jangka panjang juga dilaporkan terjadi penurunan resistensi vascular perifer. Efek samping yang sering dijumpai adalah hipokalemia, hiponatremia, hiperurisemia, dan gangguan lain seperti kelemahan otot, muntah dan pusing. Pada gangguan fungsi ginjal, thiazide tidak dianjurkan karena tidak menunjukan efek antihipertensi dan pada keadaan ini dapat digunakan diuretic loop seperti furosemide dan asam etakrinat yang merupakan diuretic kuat. Golongan ini bekerja pada segmen tebal medullay ascending limb, loop Henle. Diuretic jenis lain adalah potassium sparing diuretics seperti aldactone dan triamteren yang menghambat ekskresi Na+, sekresi K+ dan H+ pada tubulus distal. Hiperkalemia adalah efek samping yang dapat terjadi sehingga obat ini jarang dipakai pada hipertensi dengan penurunan fungsi ginjal.
2.             Angiotensin Converting Enzym-Inhibitors (ACE-I)
          Obat golongan ini menghambat ACE (enzim yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II). Obat ini semakin dikenal dalam terapi inisial. Obat ini berguna karena tidak hanya menghambat pembentukan vasokonstriktor poten (angiotensin II) tetapi juga memperlambat degradasi vasodilator (bradikinin), mengubah produksi prostaglandin dan mengubah aktivitas system saraf adrenergic. Obat ini berguna terutama pada hipertensi renal atau renovaskular dan pada pasien diabetes. Obat ini juga merupakan salah satu obat utama dalam gagal jantung kiri, dan juga bermanfaat untuk infark jantung akut, terutama dengan gangguan faal jantung kiri. Efek samping yang terjadi berupa batuk (5-10%), hiperkalemia pada pasien insufisiensi renal dan angioedema. Pada pasien dengan stenosis arteri renal bilateral, penurunan fungsi ginjal yang cepat dapat terjadi.
          Obat golongan ini yang pertama kali digunakan di klinik adalah enalapril dan captopril, namun saat ini telah banyak beredar ACE-I yang lain. Pada hipertensi ringan dan sedang, captopril dapat diberikan 12,5 mg, 2x/hari. Dosis yang biasa adalah 25-50 mg/hari. Saat ini telah diketahui bahwa aktivasi sitem renin angiotensin bertanggung jawab terhadap efek merusak pada kardiovaskular dan ginjal, dan dengan dihambat oleh ACE-I, maka efektivitas dalam melawan perubahan organ-organ ini, walaupun pasien tanpa hipertensi.
3.             Angiotensin II Reseptor Blockers (ARB)
Obat ini yang paling selektif dalam menghambat sistem renin-angiotensin, dan mempunyai efek yang sama dengan ACE-I. obat ini secara kompetitif menghambat pengikaannya terhadap reseptor angiotensin II subtipe AT1. Perangsangan pada AT1 akan menyebabkan vasokonstriksi, retensi air dan garam, pembentukan aldosteron, perangsangan sirupatis, hipertrofi jantung, pembuluh darah dan glomerulus, pembentukan radikal bebas, oksidasi LDL, menyebabkan adesi, proses peradangan, dan merangsang efek proaterogenesis. Sedangkan reseptor AT2 mempunyai efek antiproliferatif organ target, efek sel diferensiasi, regenerasi, apoptosis dan efek vasodilatasi. ARB secara selektif menghambat perangsangan AT1 sehingga efek vasokonstriksi dan proaterogenik dari angiotensin II dapat dicegah, sedangkan AT2 tidak dihambat sehingga terjadi vasodilatasi dan antiproliferasi. Jadi kedua efek tersebut dapat menurunkan tekanan darah dan memberikan proteksi organ target, seperti jantung, pembuluh darah, ginjal. Efikasi dan tolerabilitas ARB serupa dengan ACE-I tetapi dengan sedikit efek samping. Secara spesifik, ARB tidak menyebabkan batuk dan angioedema karena tidak meningkatkan kadar bradikinin. Seperti ACE-I, ARB juga dikontraindikasikanuntuk wanita hamil dan stenosis arteri renalis bilateral.
4.             Calcium Channel Blocker (CCB)
Terdapat 3 subkelas CCB yaitu derivat phenyilalkilamine (verapamil), benzothiazepine (diltiazem), dan dihydropyridine (amlodipine). Golongan obat ini menghambat masuknya Ca2+ melalui saluran kalsium, menghambat pengeluaran Ca2+ dari pemecahan retikulum sarkoplasma, dan mengikat Ca2+ pada otot polos pembuluh darah. Selain efek pada pembuluh darah perifer dengan menurunkan resistensi perifer sehingga dapat menurunkan TD, CCb juga mempunyai efek hormonal dan renal yang mempengaruhi efek antihipertensi. Ketiga subtipe ini menyebabkan vasodilatasi, namun hanya dihydropyridine yang menyebabkan takikardi, sementara diltiazem dan verapamil menyebabkan perlambatan konduksi atrioventikular. Saat ini semua obat golongan CCb menunjukan efek antihipertensi yang efektif dan aman, sehingga obat golongan ini diusulkan sebagai obat hipertensi lini pertama. Penggunaan CCb saat ini luas, baik dalam penatalaksanaan hipertensi dengan penyakit jantung koroner maupun keadaan lain seperti hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri, hipertensi dengan asma bronkial, pasien diabetes mellitus, gagal ginjal kronis, dan pasien dengan penyakit pembuluh darah perifer. Dan pada akhir-akhir ini, CCb dianjurkan untuk hipertensi dengan usia lanjut. Saat ini, CCb diharapkan mempunyai efek anti aterosklerosis seperti yang ditunjukan dalam studi INSIGHT dimana progresivitas penebalan intima media thickness dapat dihambat dan klasifikasi pembuluh koroner dapat dikurangi. Namun, pemberian CCb haruslah memperhatikan kontraindikasi seperti gagal jantung yang berat, sindrom sick sinus, adanya gangguan konduksi di nodus atrioventrikular ataupun sinoatrial. Efek samping yang timbul dapat berupa rasa panas pada muka dan edema pada ekstremitas bawah.
5.             Antiadrenergik
a.              Penghambat reseptor – adrenergik
Obat ini menghambat efek simpatik pada jantung dan paling efektif dalam menurunkan cardiac output dan menurunkan tekanan darah arteri pada keadaan terjadi peningkatan sktivitas saraf simpatis jantung. Obat ini sering digunakan sebagai terapi lini pertama. Obat ini terutama berguna bila diberikan bersama vasodilator, dimana cenderung untuk meningkatkan aktivitas renin. Dalam prakteknya, b-blocker efektif walaupun tidak terdapat peningkatan tonus simpatis. Obat ini dapat mempresipitasi gagal jantung dan asma dan sebaiknya digunakan dengan perhatian pada pasien diabetes yang menerima terapi hipoglikemik karena b-blocker menghambat reaksi simpatis akibat hipoglikemi. B-blocker kardioselektif (beta-blocker seperti metaprolol, etanol) lebih superior dibandingkan dengan yang nonkardioselektif seperti propanolol dan timolol pada pasien dengan bronkospasme. Obat yang bekerja sentral seperti clonidine dan metildopa menstimulasi reseptor 2 vasomotor di otak, sehingga sapat menurunkan simpatis dan tekanan arteri. Biasanya penurunan cardiac output dan denyut jantung juga terjadi. Hipertensi rebound dapat terjadi bila clonidine dihentikan, hal ini mungkin secara sekunder akibat peningkatan pelepasan epinefrin. Obat ini tidak digunakan sebagai lini pertama.
b.             Penghambat reseptor a-adrenergik
Obat golongan ini tidak digunakan sebagai terapi lini pertama. Terdapat 2 reseptor alfa yaitu alfa 1 dan alfa 2, dimana alfa 2 berkaitan dengan kejadian toleransi. Prazosin, terazosin, dan doxazosin lebih efektif dibandingkan dengan phentolamine dan phenoxybenzamine karena secara selektif hanya menghambat reseptor alfa 1. Ketiga obat ini dapat menyebabkan hipotensi pada dosis pertama. Penggunaan obat-obat tersebut menurun berkaitan dengan pelaporan peningkatan kejadian kardiovaskular.
6.             Vasodilator
          Golongan obat ini tidak digunakan sebagai terapi inisial. Hidralazine dapat menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah terutama pada resistensi arterial. Namun obat ini dapat menyebabkan refleks peningkatan simpatis yang meningkatkan frekuensi jantung dan cardiac output sehingga penggunaannya terbatas terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Diazoxide, nitroprusside dan nitrogliserin digunakan pada terapi hipertensi emergency.
7.             Antagonis Reseptor Mineralokortikoid
Saat ini diketahui bahwa aldosteron tidak hanya mempunyai efek pada ginjal tetapi juga pada jantung dan pembuluh darah berkaitan dengan fibrosis dan hipertrofi. Spironolactone lebih efektif digunakan pada terapi hipertensi dengan kadar mineralokortikoid berlebih seperti pada aldosteronisme sekunder. Namun pada studi uji klinis RALES pada gagal jantung, penggunaan spironolactone dosis rendah dapat menurunkan mortalitas 30%, sehingga diduga bahwa antagonis reseptor aldosteron berguna walaupun kadar aldosteron relatif normal.
Bila diketahui adanya hipertensi sekunder, penatalaksanaan farmakologis tidak hanya focus pada hipertensinya saja, melainkan pada penyakit yang dapat menyebabkan hipertensi itu muncul dan disesuaikan dengan penyebabnya. Hipertensi ginjal selain dilakukan pembatasan natrium dan pemberian obat antihipertensi (diuretik thiazide, diuretik loop, ACE-I, CCB) juga dengan diet rendah protein. Sedangkan penatalaksanaan hipertensi renovaskular meliputi terapi obat, Percutaneus Transluminal Renal Angioplasty (PTRA), nefrektomi dan ablasi renal. Penatalaksanaan sindrom Cushing tergantung penyebabnya, bila tumor adrenal sebagai penyebab maka dilakukan tindakan pembedahan dan pemberian kortikosteroid sebagai substitusi, sedangkan apabila karena hiperplasia akibat rangsangan ACTH, pengobatan ditujukan baik terhadap kelenjar adrenal maupun hipofisis. Penatalaksanaan hiperaldosteronisme primer juga tergantung penyebab, dimana bila penyebabnya adalah adenoma, maka dilakukan pembedahan, sedangkan pada bentuk hiperplasia pengobatan ditujukan untuk memperbaiki keseimbangan elektrolit dengan pemberian antagonis aldosteron atau diuretik hemat kalium. Pemberian pengobatan medika-mentosa (fenoksibenzamin atau prazosine oral) pada feokromositoma sangat bermanfaat sebelum tindakan pembedahan.
2.9.3 Follow-Up dan Monitor
Sekali obat antihipertensi diberikan, kebanyakan pasien sebaiknya kembali untuk follow up dan menilai kembali obat yang diberikan dalam interval 1 bulan atau kurang sampai target tekanan darah dicapai. Kedatangan yang lebih sering diperlukan untuk pasien hipertensi derajat 2 atau adanya komplikasi. Kalium dan kreatinin serum sebaiknya dimonitor paling sedikit 1-2x/tahun. Setelah tekanan darah tercapai dan stabil, follow up biasanya dilakukan dalam interval 3-6 bulan. Adanya komorbiditas seperti gagal jantung yang berhubungan dengan penyakit seperti diabetes, dan perlunya pemeriksaan laboratorium mempengaruhi frekuensi kedatangan. Faktor resiko kardiovaskular lainnya sebaiknya dimonitor dan diterapi. Terapi aspirin dosis rendah sebaiknya dipertimbangkan hanya pada hipertensi yang terkontrol karena resiko stroke hemoragik akan meningkat pada hipertensi yang tidak terkontrol.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam interaksi pasien dengan petugas kesehatan adalah sebagai berikut :Setiap kali penderita periksa, penderita diberitahu hasil pengukuran tekanan darahnya. Bicarakan dengan penderita tujuan yang hendak dicapai mengenai tekanan darahnya. Diskusikan dengan penderita bahwa hipertensi tidak dapat sembuh, namun bisa dikendalikan untuk dapatmenurunkan morbiditas dan mortilitas. Yakinkan penderita bahwa penderita tidak dapat mengatakan tingginya tekanan darah atas dasar apa yang dirasakannya, tekanan darah hanya dapat diketahui dengan mengukur memakai alat tensimeter. Penderita tidak boleh menghentikan obat tanpa didiskusikan lebih dahulu. Sedapat mungkin tindakan terapi dimasukkan dalam cara hidup penderita. Ikut sertakan keluarga penderita dalam proses terapi. Pada penderita tertentu mungkin menguntungkan bila penderita atau keluarga dapat mengukur tekanan darahnya di rumah. Buatlah sesederhana mungkin pemakaian obat anti hipertensi misal 1 x sehari atau 2 x sehari. Diskusikan dengan penderita tentang obat-obat anti hipertensi, efek samping dan masalah-masalah yang mungkin terjadi. Yakinkan penderita kemungkinan perlunya memodifikasi dosis atau mengganti obat untuk mencapai efek samping minimal dan efektifitas maksimal. Usahakan biaya terapi seminimal mungkin. Untuk penderita yang kurang patuh, usahakan kunjungan lebih sering. Hubungi segera penderita, bila tidak datang pada waktu yang ditentukan. Melihat pentingnya kepatuhan pasien dalam pengobatan maka sangat diperlukan sekali pengetahuan dan sikap pasien tentang pemahaman dan pelaksanaan pengobatan hipertensi.
2.11   Prognosis
Untuk hipertensi ditentukan oleh sifat penyakit yang mendasari dan ketanggapannya terhadap terapi spesifik  misalnya pada ketahanan hidup pada penderita dengan penyakit  tertentu.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1                  Pengkajian
1.     Identitas pasien
Nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan
2.    Keluhan pasien
a.    Pusing
b.    Telinga berdengung
c.    Sukar tidur
d.   Sesak nafas
e.    Rasa berat di tengkuk
f.     Mudah lelah
g.    Mata berkunang-kunang

3.     Riwayat kesehatan
a.    Riwayat penyakit keluarga hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, penyakit jantung koroner, stroke atau penyakit ginjal.
b.    Lama dan tingkat tekanan darah tinggi sebelumnya dan hasil serta efek sampinng obat antihipertensi sebelumnya.
c.    Riwayat atau gejala sekarang penyakit jantung koroner dan gagal jantung, penyakit serebrovaskuler, penyakit vaskuler perifer, diabetes mellitus, pirai, dislipidemia, asma bronkhiale, disfungsi seksual, penyakit ginjal, penyakit nyata yang lain dan informasi obat yang diminum.
d.   Penilaian faktor risiko termasuk diet lemak, natrium, dan alcohol, jumlah rokok, tingkat aktifitas fisik, dan peningkatan berat badan sejak awal dewasa.
e.    Riwayat obat-obatan atau bahan lain yang dapat meningkatkan tekanan darah termasuk kontrasepsi oral, obat anti keradangan nonsteroid, liquorice, kokain dan amfetamin. Perhatian juga untuk pemakaian eritropoetin, siklosporin atau steroid untuk penyakit yang bersamaan.
f.     Faktor pribadi, psikososial, dan lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil pengobatan antihipertensi termasuk situasi keluarga, lingkungan kerja, dan latar belakang pendidikan.

4.    Pengkajian data dasar

A.           Aktifitas atau istirahat (Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:      kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton
Tanda:      frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea
B.            Sirkulasi (Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:     riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner/ katup dan penyakit serebrovaskular, episode palpitasi, perspirasi
Tanda:
a.         kenaikan tekanan darah ( pengukuran serial dari kenaikan tekanan darah diperlukan untuk menegakkan diagnosis)
b.        hipotensi postural ( mungkin berhubungan dengan regimen obat)
c.         nadi: denyutan jelas dari karotis, jugularis, radialis ; perbedaan denyut seperti denyut femoral melambat sebagai kompensasi denyutan radialis atau brakialis, denyut popliteal,tibialis posterior, pedalis tidak teraba atau lemah
d.        frekuensi/irema: takikardia, berbagai disritmia
e.         bunyi jantung: tedengar S2 pada dasar, S3 (Congestive Heart Failure dini), S4 (pengerasan ventrikel kiri/hipertrofi ventrikel kiri)
f.         murmur stenosis valvular
g.        desiran vascular terdengar diatas karotis, femoralis, atau epigastrium (stenosis arteri)
h.        DVJ (Distensi Vena Jugularis) (kongesti vena)
i.          Ekstremitas: perubahan warna kulit, suhu dingin (vasokonstriksi perifer), pengisian kapiler mungkin lambat/tertunda (vasokonstriksi)
j.          Kulit: pucat, sianosis, dan diaphoresis (kongesti, hipoksemia), kemerahan (feokromositoma)
C.            Integritas ego (Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:
a.         riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria, atau marah kronik (dapat mengindikasikan kerusakan serebral)
b.        factor-faktor stress multiple (hubungan, keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan)
Tanda:
a.         letupan suasana hati, gelisah, penyempitan kontinu perhatian, tangisan yang meledak
b.        gerak tangan empati, otot muka tegang (khususnya sekitar mata), gerakan fisik cepat, pernafasan menghela, peningkatan pola bicara
D.           Eliminasi (Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:
a.         ganguan ginjal saat ini atau yang lalu (seperti:infeksi/obstruksi atau riwayat penyakit masa lalu)
b.        makanan/cairan
E.            Makanan/cairan (Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:
a.         makanan yang disukai, yang dapat mencakup makanan tinggi garam, tinggi lemak, tinggi kolesterol (seperti: makanan yang digoreng, keju, telur) ; gula-gula yang berwarna hitam; kandungan tinggi kalori
b.        mual, muntah
c.         perubahan berat badan akhir-akhir ini (meningkat/turun)
d.        riwayat penggunaan diuretic
Tanda:
a.         berat badan normal atau obesitas
b.        adanya edema (mungkin umum atau tertentu); kongesti vena, DVJ; glikosuria (hamper 10% pasien hipertensi adalah diabetik)
F.             Neurosensori (Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:
a.         keluhan pening/pusing
b.        berdenyut, sakit kepala suboksipital (terjadi saat bangun dan menghilang secara spontan setelah beberapa jam)
c.         episode kebas dan/ atau kelemahan pada satu sisi tubuh
d.        gangguan penglihatan (diplopia, penglihatan kabur)
e.         episode epistaksis
Tanda:
a.         status mental: perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi bicara, afek, proses fikir, atau memori (ingatan)
b.        respon motori: penurunan kekuatan genggaman tangan dan/ atau reflek tendon dalam
c.         perubahan-perubahan retinal optic: dari sklerosis/penyempitan arteri ringan sampai berat dan perubahan sklerotik dengan edema atau papiledema, eksudat,  dan hemoragi tergantung pada berat/ lamanya hipertensi
G.           Nyeri/ketidaknyamanan (Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:
a.         angina (penyakit arterikoroner/keterlibatan jantung)
b.        nyeri hilang timbul pada tungkai/ klaudikasi (indikasi arteriosklerosis pada arteri ekstremitas bawah)
c.         sakit kepala oksipital berat seperti yang pernah terjadi sebelumnya
d.        nyeri abdomen/masssa(feokromositoma)
H.           Pernafasan (secara umum berhubungan dengan efek kardiopulmonal tahap lanjut dari hipertensi menetap/berat) (Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:
a.         dispnea yang berkaitan dengan aktifitas atau kerja
b.        takipnea, ortopnea, dispnea noctural paroksismal
c.         batuk dengan/ tanpa pembentukan sputum
d.        riwayat merokok
Tanda:
a.         distress respirasi/ penggunaan otot aksesori pernafasan
b.        bunyi nafas tambahan (crecles atau mengi)
c.         sianosis
I.                     Keamanan (Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:
a.        gangguan koordinasi/cara berjalan
b.       episode parestesia unilateral transien
c.        hipotensi postural
J.              Pembelajaran/penyuluhan (Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:
a.        factor-faktor resiko keluarga: hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung, diabetes mellitus, serebrovaskular/ginjal
b.       factor-faktor resiko etnik: se[erti orang afrika-amerika, asia-tenggara
c.        pengunaan pil KB atau hormon lain; penggunaan obat/alcohol
K.           Pertimbangan rencana pemulangan (Marilynn E. Doenges, 2000) :
a.       DRG menunjukan rerata lamanya dirawat : 4,2 hari
b.      Bantuan dengan pemantauan-diri TD
c.       Perubahan dalam terapi obat

3.2                  Diagnosa Keperawatan
a.       Risiko tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemi miokard, hipertrofi/ rigiditas ventrikel.
Tujuan:
Tidak terjadi penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemi miokard, hipertrofi/ rigiditas ventrikel.


Kriteria hasil:
Dapat mempertahankan tekanan darah dalam rentang individual yang dapat diterima, irama jantung (vascular), dan denyut jantung dalam batas normal (60-100x/menit).
INTERVENSI
RASIONAL
1.    Pantau tekanan darah. Ukur pada kedua tangan/paha untuk evaluasi awal. Gunakan ukuran manset yang tepat dan teknik yang akurat.
Perbandingan dari tekanan memberikan gambaran yang lebih lengkap tentan keterlibatan/bidang masalah vaskular. Hipertensi berat diklasifikasikan pada orang dewasa dengan pengukuran diastolik > 130 dan dipertimbangkan sebagai peningkatan pertama, kemudian maligna. Hipertensi sistolik juga merupakan faktor risiko yang ditentukan untuk penyakit serebrovaskular dan penyakit iskemia jantung bila tekanan diastolik 90 – 115.
2.    Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer.
Denyutan karotis, jugularis, radialis dan femoralis mungkin terpalpasi. Denyut pada tungkai mungkin menurun, mencerminkan efek dari vasokonstriksi dan kongesti vena.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Tujuan:
Agar pasien mampu beraktivitas tanpa keluhan yang berarti.
Kriteria hasil:
Pasien mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri dengan teknik penghematan energy (pembatasan aktivitas berat) dan pemenuhan kebutuhan oksigen tercukupi (pasien tidak sesak nafas).
Intervensi
Rasional
1.    Kaji respons klien terhadap aktivitas dan catat: denyut nadi,tekanan darah paska aktivitas, keluhan sesak napas, nyeri dada, keletihan yang sangat, diaforasis, pusing atau syncope.
Tanda dan gejala tersebut mengindikasikan penurunan curah jantung dan perfusi jaringan, akibat peningkatan preload dan afterload ventrikel kiri.
2.    Anjurkan klien menggunakan teknik penghematan tenaga saat beraktivitas. Bantu pemenuhan aktivitas sehari-hari sesuai kebutuhan. Anjurkan aktivitas secara bertahap sesuai toleransi klien.
Penghematan energi mengurangi konsumsi oksigen pada miokard.
3.    Pertahankan pembatasan aktivitas, buat jadwal terapi yang tidak mengganggu masa istirahat klien.
Lingkungan nyaman dan pembatasan aktivitas menurunkan konsumsi oksigen miokard.

c.              Risiko tinggi terhadap injuri atau trauma fisik berhubungan dengan pandangan kabur, ruptur pembuluh darah otak, epistaksis.
Tujuan:
Mengurangi nyeri dan menurunkan tekanan pembuluh darah otak.
Kriteria hasil:
Nyeri dan tekanan pembuluh darah otak dapat berkurang.
Intervensi
Rasional
1.    Pertahankan bedrest selama fase akut.
Bedrest adekuat dan tindakan kenyamanan membantu merelaksasikan otot dan menurunkan kecemasan.
2.    Kaji ulang fisus klien, tanyakan keluhan terhadap pandangan kabur.
Pandangan kabur dan penurunan fisus adalah indikator kerusakan retina mata.
3.    Kolaborasi pemberian pengobatan: analgesik, trankuilizer(diasepam), pemeriksaan fundus mata (konsultasi dengan dokter ahli mata).
Mengurangi nyeri kepala
Menurunkan kecemasan dan membantu tidur
Menilai komplikasi hipertensi pada mata (retina).

d.             Perubahan nutrisi (lebih dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan kelebihan asupan makanan, gaya hidup, kebiasaan, atau budaya.
Tujuan:
Mengatur agar berat badan dalam batas normal/ ideal (BB ideal= TB-110), klien mampu mengubah pola makan, gaya hidup, dan pola olahraga.
Kriteria hasil:
Berat badan dalam batas normal/ ideal (BB ideal= TB-110), klien mampu mengubah pola makan, gaya hidup, pola olahraga, dan memenuhi kebutuhan nutrisi yang cukup melalui pengukuran antropometri, biokimia, clinis, dan diet.
Intervensi
Rasional
1.    Bantu klien memahami hubungan antara hipertensi dan obesitas.
Mal-diet menyebabkan obesitas, hipertensi, dan memicu serangan jantung.
2.    Review asupan kalori harian dan pilihan diet.
Pengaturan berat badan dapat mencegah obesitas dan komplikasinya.
3.    Anjurkan meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung asam lemak tak jenuh.
Asam lemak tidak jenuh membantu menurunkan kadar kolesterol darah.
4.    Berikan diet rendah garam dan kolesterol; dan pembatasan cairan.
Diet rendah garam dan kolesterol; dan pembatasan cairan mencegah peningkatan volume cairan ekstraseluler yang dapat meningkatkan tekanan darah.

e.              Risiko kekambuhan/ ketidakpatuhan terhadap program perawatan diri yang berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang program pengobatan, aturan penanganan dan kontrol proses penyakit.
Tujuan:
Agar tidak terjadi peningkatan tekanan darah, dan terpenuhinya pengetahuan tentang program pengobatan, dan kontrol penyakit.
Kriteria hasil:
Tidak terjadi peningkatan tekanan darah, dan terpenuhinya pengetahuan tentang program pengobatan, dan kontrol penyakit. Klien mampu dalam menjelaskan faktor-faktor yang meningkatkan tekanan darah.


Intervensi
Rasional
Diskusikan dengan klien mengenai tekanan darah normal.
Diharapkan dapat mempermudah menerangkan penyakitnya.
Diskusikan farmakokinetik dan farmakodinamik obat-obat hipertensi yang dimiliki klien.
Pemahaman yang baik tentang fungsi setiap obat dapat membantu proses interaksi obat-obat yang diminum.
Jelaskan mengenai manfaat diet rendah garam, rendah lemak, dan cara mempertahankan berat yang ideal.
Rendah garam untuk mengurangi retensi cairan, rendah lemak untuk mengurangi beban kerja jantung.
Diskusi dengan klien mengenai jenis makanan rendah garam dan rendah lemak.
Diharapkan agar klien dapat mengurangi konsumsi makan tersebut untuk mengurangi risiko kambuh.
Jelaskan kepada klien dan keluarga mengenai faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko kambuh seperti rokok, konsumsi garam yang berlebihan, dan stres.
Agar klien dapat menghindari faktor-faktor yang meningkatkan risiko kambuh dan keluarga dapat memberikan lingkungan yang mendukung penyembuhan.
Berikan dukungan pada klien dan keluarga tentang pentingnya program pemeliharaan tekanan darah.
Dukungan yang baik akan meningkatkan kemauan klien dan keluarga untuk mendukung pemeliharaan tekanan darah.
Jelaskan kepada klien bila berat badan meningkat dan edema ekstremitas agar segera memeriksakan diri.
Berat badan meningkat, merupakan indikasi yang memungkinkan terjadinya peningkatan tekanan darah kembali.
Menyarankan keluarga agar memanfaatkan sarana kesehatan di masyarakat.
Untuk memudahkan klien dalam memonitor status kesehatannya.
Setelah meminum obat antihipertensi, maka pantau tanda vital terutama tekanan darah dan denyut nadi.
Efektivitas terapi obat ditentukan dengan terpeliharanya tekanan darah dan denyut nadi yang diinginkan.

f.       Kelebihan volume cairan b.d meningkatnya beban awal, penurunan curah jantung sekunder terhadap infark miokard

INTERVENSI
RASIONAL
1.    Identifikasi faktor penyebab dan penunjang, misal diet yang tidak tepat (intake natrium berlebih), kurangnya pengetahuan tentang pemenuhan hal-hal yang berkaitan dengan pengobatan.
Pengawasan intake diet dipantau untuk menjaga kestabilan tekanan darah agar tidak terjadi penumpukan cairan yang dapat menyembabkan edema jaringan.




2.    Identifikasi dan awasi intake diet klien dan kebiasaan-kebiasaan yang mungkin menyokong terjadinya retensi urin.
Lanjutkan dengan memberikan intake yang seseuai dengan kebutuhan klien.
Pengawasan intake makanan pasien sangat diperlukan untuk mencegah bertambahnya volume cairan dengan intake makanan yang tidak terkontrol. Intake natrium yang tinggi dapat menyebabkan retensi air.
3.    Identifikasi pengetahuan klien mengenai diagnosa medis, diet, pengobatan, aktivitas dan penggunaan balutan ACE dan stoking emboli.
Lanjutkan dengan penyuluhan kesehatan jika diindikasikan.

g.       Gangguan Pola tidur b.d memerlukan waktu yang berlebihan sekunder terhadap obat-obatan antihipertensi
       
INTERVENSI
RASIONAL
1.    Berikan tempat tidur yang nyaman, seperti bantal dan guling.
Meningkatkan kenyamanan tidur serta dukungan fisiologis/psikologis.
2.    Dorong beberapa aktivitas ringan selama siang hari. Jamin pasien berhenti beraktivitas beberapa jam sebelum tidur.
Aktivitas siang hari dapat membantu pasien menggunakan energi dan siap untuk tidur malam. Namun, kelanjutan aktivitas yang dekat dengan waktu tidur dapat bertindak sebagai stimulan penghambat tidur.
3.    Tingkatkan regimen kenyamanan waktu tidur, misal mandi air hangat dan masase, segelas susu hangat sebelum tidur
Meningkatkan efek relaksasi. Catatan: susu mempunyai kualitas soporfik, meningkatkan sintesis serotonin, neurotransmiter yang membantu pasien tertidur dan tidur lebih lama.
4.    Instruksikan tindakan relaksasi
Membantu menginduksikan tidur.
5.    Kurangi kebisingan dan lampu
Memberikan situasi kondusif untuk tidur.
6.    Hindari mengganggu bila mungkin, misal membangunkan untuk obat atau terapi.
Tidur tanpa gangguan lebih menimbulkan rasa segar dan pasien mungkin tidak mampu kembali tidur bila terbangun.

3.3                  Evaluasi
1. mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat
          a. Tekanan darah dalam rentang yang dapat diterima dengan pengobatan , terapi diet, dan perubahan gaya hidup.
          b. tidak menunjukkan gejala angina, palpitasi, atau penurunan penglihatan
2. mematuhi program asuahan dini
          a. minum obat sesuai resep dan melaporkan setiap ada efek samping
          b. mematuhi aturan diet sesuai yang dianjurkan pengurangan natrium, kolesterol, dan kalori.
          c. mengukur tekanan darahnya sendiri secara teratur, berhenti mengonsumsi tembakau, kafein danalkohol
3. bebas dari komplikasi
          a. kecepatan dan irama denyut nadi dan kecepatan napas dalam batas normal, tidak terjadi dispnea atau edema.
          b. pemeriksaan fungsi ginjal dalam batas normal
          c. tidak mengalamisakit kepala, pusing, atau perubahan cara berjalan.




BAB IV
PENUTUP

4.1      Kesimpulan

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg ( Smith Tom, 1995 ).

Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan (Lany Gunawan, 2001) yaitu:
1.             Hipertensi esensial (primer) : yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
2.             Hipertensi sekunder : yaitu hipertensi yang disebabkan oleh penyakit sistemik lain. misalnya gangguan hormon (Gushing), penyempitan pembuluh darah utama ginjal (stenosis arteri renalis, akibat penyakit ginjal (glomerulonefritis)},kelainan pada kelenjar adrenal, kelainan pada arteri aorta, dan penyakit sistemik lainnya (lupus nefritis).

Beberapa penyebab terjadinya hipertensi sekunder:
1.             Penyakit Ginjal
2.             Kelainan Hormonal
3.             Obat-obatan
4.             Penyebab Lainnya
Manifestasi klinis dari hipertensi adalah sebagai berikut :
1.             Pusing
2.             Mudah marah
3.             Telinga berdengung
4.             Mimisan (jarang)
5.             Sukar tidur
6.             Sesak nafas
7.             Rasa berat di tengkuk
8.             Mudah lelah
9.             Mata berkunang-kunang

Organ organ tubuh sering terserang akibat hipertensi anatara lain mata
berupa perdarahan retina bahkan gangguan penglihatan sampai kebutaan,
gagal jantung, gagal ginjal, pecahnya pembuluh darah otak.




Pemeriksaan Diagnostik

1.             Hitung darah lengkap
2.             Kimia darah
3.             Elektrolit
4.             Urine
5.             Radiologi
6.             EKG
Penatalaksanaan pasien dengan hipertensi sekunder adalah penatalaksanaan secara farmakologis dan non farmakologis

4.2                                                       Saran

Mahasiswa yang mempelajari makalah ini memahami asuhan keperawatan klien dengan hipertensi sekunder secara keseluruhan dan mampu melaksanakan penatalaksanaan pada klien dengan hipertensi sekunder dengan cermat. Apabila ada kesalahan mohon disampaikan.




















DAFTAR PUSTAKA

Grabber, Mark A. dkk. 1996. Dokter Keluarga. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Asih, Niluh G.Y dan Effendy, Christantie. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:  Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Davey, Patrich. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Tambayong, Jan. 1999. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Behrman. dkk. 1996. Ilmu Kesehatan Anak. Volume 2 Edisi 15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Udjianti, Wajan Juni. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.
Nettina, Sandra M. 1996. Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doenges, Marilynn E. dkk. 1993. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sisitem Kardiovaskular.Jakarta: Salemba Medika.
Silbernagl, Stefan, Florian  Lang. 2007. Patofisioligi. Jakarta: EGC.
Udjianti, Wajan Juni. 2010. Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika.


Konsep Bencana