UMSurabaya S 1 Keperawatan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hipertensi didefinisikan
sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg ( Smith
Tom, 1995 ). Menurut WHO, penyakit hipertensi
merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan
160 mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95 mmHg (
Kodim Nasrin, 2003 ). Hipertensi dikategorikan ringan
apabila tekanan diastoliknya antara 95 – 104 mmHg, hipertensi
sedang jika tekanan diastoliknya antara 105 dan 114 mmHg, dan hipertensi berat
bila tekanan diastoliknya 115 mmHg atau lebih. Pembagian ini berdasarkan
peningkatan tekanan diastolic karena dianggap lebih serius dari peningkatan
sistolik ( Smith Tom, 1995 ).
Pengelolaan
hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat
komplikasikardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan
tekanan darah dibawah 140/90mmHg.
Prinsip
pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
a.
Penatalaksanaan
Non Farmakologis.
1.
Diet
2.
Aktivitas.
3.
Edukasi
Psikologis
b. Penatalaksanaan
Farmakologis.
Pada
hipertensi sekunder, penatalaksanaan farmakologis tidak hanya focus pada
hipertensinya saja, melainkan pada penyakit yang dapat menyebabkan hipertensi
itu muncul. Secara garis besar terdapat bebrapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi yaitu:
1.
Mempunyai
efektivitas yang tinggi.
2.
Mempunyai
toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal.
3.
Memungkinkan
penggunaan obat secara oral.
4.
Tidak
menimbulakn intoleransi.
5.
Harga
obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
6.
Memungkinkan
penggunaan jangka panjang.
Untuk dapat menggunakan obat
antihipertensi yang rasional, maka perlu dipahami tempat kerja dan mekanisme
kerja masing-masing obat. Secara umum, terdapat 7 macam golongan obat, yaitu
diuretic, ACE-I, ARB, CCB, antiadrenergik, vasodilator, dan antagonis reseptor
mineralokortikoid.
1.2
Tujuan
1.2.1
Tujuan
Umum
Mahasiswa mengetahui, memahami dan mampu
menyusun asuhan keperawatan klien dengan hipertensi.
1.2.2
Tujuan
Khusus
1.
Mengetahui
dan memahami definisi hipertensi
2.
Mengetahui
dan memahami klasifikasi hipertensi
3.
Mengetahui
dan memahami etiologi hipertensi
4.
Mengetahui
dan memahami patofisiologi hipertensi
5.
Mengetahui
dan memahami WOC hipertensi
6.
Mengetahui
dan memahami manifestasi klinis hipertens
7. Mengetahui dan
memahami komplikasi hipertensi sekunder
8. Mengetahui dan
memahami pemeriksaan fisik hipertensi
9. Mengetahui dan
memahami pemeriksaan diagnostik hipertensi
10. Mengetahui dan
memahami penatalaksanaan hipertensi
11. Mengetahui dan
memahami prognosis hipertensi sekunder
1.3
Rumusan Masalah
1.
Apa
definisi hipertensi ?
2.
Apa
saja klasifikasi hipertensi ?
3.
Apa
saja etiologi hipertensi ?
4.
Bagaimana
patofisiologi hipertensi ?
5.
Bagaimana
WOC hipertensi ?
6.
Apa
saja manifestasi klinis hipertensi ?
7.
Apa
saja komplikasi hipertensi ?
8.
Apa
saja pemeriksaan fisik hipertensi ?
9.
Apa
saja pemeriksaan diagnostik hipertensi ?
10. Bagaimana
penatalaksanaaan hipertensi ?
11. Bagaimana
prognosis hipertensi ?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hipertensi didefinisikan
sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg ( Smith
Tom, 1995 ). Menurut WHO, penyakit hipertensi
merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan
160 mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95 mmHg (
Kodim Nasrin, 2003 ). Hipertensi dikategorikan ringan
apabila tekanan diastoliknya antara 95 – 104 mmHg, hipertensi
sedang jika tekanan diastoliknya antara 105 dan 114 mmHg, dan hipertensi berat
bila tekanan diastoliknya 115 mmHg atau lebih. Pembagian ini berdasarkan
peningkatan tekanan diastolic karena dianggap lebih serius dari peningkatan
sistolik ( Smith Tom, 1995 ).
Pada
pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka. Angka yang lebih tinggi
diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung
berelaksasi (diastolik).
Tekanan darah kurang dari 120/80 mmHg didefinisikan sebagai "normal".
Pada tekanan darah tinggi, biasanya terjadi kenaikan tekanan sistolik dan
diastolik. Hipertensi biasanya terjadi pada tekanan darah
140/90 mmHg atau ke atas, diukur di kedua lengan tiga kali dalam jangka
beberapa minggu.
2.2 Klasifikasi
Hipertensi
pada usia lanjut dibedakan atas : ( Darmojo, 1999 )
Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan / atau tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg. Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.
Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan / atau tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg. Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.
Hipertensi
berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan (Lany Gunawan, 2001)
yaitu:
1.
Hipertensi esensial (primer) : yaitu hipertensi yang
tidak diketahui penyebabnya
2.
Hipertensi sekunder : yaitu hipertensi yang disebabkan
oleh penyakit sistemik lain. misalnya gangguan hormon (Gushing),
penyempitan pembuluh darah utama ginjal (stenosis arteri renalis, akibat
penyakit ginjal (glomerulonefritis)},kelainan pada kelenjar
adrenal, kelainan pada arteri aorta, dan penyakit
sistemik lainnya (lupus nefritis). Penggunaan obat kontrasepsi oral,
penyalahgunaan alkohol yang kronis dan kehamilan juga bisa memicu munculnya
hipertensi sekunder ini.Penderita biasanya menampakkan tanda tanda dan gejala
yang berhubungan dengan penyakit utama yang dideritanya. Hipertensi ini hanya
terjadi pada 5% kasus pasien dengan hipertensi.
2.3 Etiologi
Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi :
( Edward K Chung, 1995 )
1.
Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat
dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri
oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan
pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
2.
Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang
menyertai hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya
ini merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari
pertolongan medis.
2.4 Patofisiologi
Mekanisme
yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat
vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf
simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna
medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat
vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system
saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion
melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke
pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan
konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan
dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi.
Individu dengan hipertensi sangat sensitiv terhadap norepinefrin, meskipun
tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi.
Medulla
adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal
mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons
vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan
aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin
I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang
pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi.
Sebagai pertimbangan gerontologis
dimana terjadi perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh perifer
bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut.
Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat
dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya
menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya,
aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah
yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang
jantung dan peningkatan tahanan perifer (Brunner & Suddarth, 2002).
Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi palsu” disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga tidak dikompresi oleh cuff sphygmomanometer (Darmojo, 1999).
Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi palsu” disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga tidak dikompresi oleh cuff sphygmomanometer (Darmojo, 1999).
2.5 WOC
|
|||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2.6 Manifestasi Klinis
Hipertensi
biasanya bersifat asimtomatik sampai terjadi kerusakan organ target, Gejala
klasik yang sering terjadi ialah sakit kepala ,epistaksis , pusing dan tinitus
yang berhubungan dengan naiknya tekanan darah. Fase hipertensi yang berbahaya
bisa ditandai oleh nyeri kepala dan hilangnya penglihatan (papiledema).
Manifestasi klinis dari
hipertensi adalah sebagai berikut : dijelaskan dan diuraikan
1.
Pusing
2.
Mudah
marah
3.
Telinga
berdengung
4.
Mimisan
(jarang)
5.
Sukar
tidur
6.
Sesak
nafas
7.
Rasa
berat di tengkuk
8.
Mudah
lelah
9.
Mata
berkunang-kunang
Gejala akibat komplikasi
hipertensi yang pernah dijumpai adalah :
1.
Gangguan
penglihatan
2.
Gangguan
saraf
3.
Gagal
jantung
4.
Gangguan
fungsi ginjal
5.
Gangguan
serebral (otak) yg mengakibatkan kejang dan pendarahan pembuluh darah otak yang
mengakibatkan kelumpuhan, gangguan kesadaran hingga koma.
Pada
sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala; meskipun secara
tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan
dengan tekanan darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak). Gejala yang dimaksud
adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan
kelelahan; yang bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi, maupun pada
seseorang dengan tekanan darah yang normal.
Jika
hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati,
bisa timbul gejala berikut:
1.
sakit
kepala
2.
kelelahan
3.
mual
4.
muntah
5.
sesak
nafas
6.
gelisah
7.
pandangan
menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan
ginjal.
Kadang penderita hipertensi
berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan
otak. Keadaan ini disebut ensefalopati
hipertensif, yang memerlukan penanganan segera.
2.7 Komplikasi
Organ organ
tubuh sering terserang akibat hipertensi anatara lain mata
berupa perdarahan retina bahkan gangguan penglihatan sampai kebutaan,
gagal jantung, gagal ginjal, pecahnya pembuluh darah otak.
berupa perdarahan retina bahkan gangguan penglihatan sampai kebutaan,
gagal jantung, gagal ginjal, pecahnya pembuluh darah otak.
2.8 Pemeriksaan
Fisik
1.
Melihat
penampakan pasien secara umum seperti apakah terdapat moon face dan obesitas
trunkal yang biasa terdapat pada sindrom Chusing.
2.
Pengukuran tinggi
dan berat serta kalkulasi BMI (Body Mass Index) yaitu berat dalam kg dibagi
tinggi dalam m².
3.
Pengukuran tekanan
darah dan nadi. Yaitu dengan
membandingkan lengan kontralateral pada keadaan berbaring dan berdiri.
4.
Pemeriksaan
abdomen untuk mengetahui adanya pembesaran ginjal, massa, kandung kemih yang
distensi
5.
Pemeriksaan system
kardiovaskuler terutama ukuran jantung, untuk mengetahui apakah terdapat
hipertrofi ventrikel kiri dan dekompensasi kordis, bukti adanya gagal jantung, penyakit arteri karotis, renal, dan perifer
lain serta koarktasio aorta.
6.
Pemeriksaan paru
adanya ronkhi dan bronkhospasme serta bising abdomen, pembesaran ginjal serta
tumor yang lain.
7.
Pemeriksaan fundus
optikus dan system syaraf untuk mengetahui kemungkinan adanya kerusakan
serebrovaskuler.
8.
Palpitasi
kelenjar tiroid
9.
Palpasi
ekstremitas bawah untuk pemeriksaan edema dan nadi
10.
Auskultasi
bruits pada karotis, abdominal dan femoral
2.9 Pemeriksaan
Diagnostik
1.
Hitung
darah lengkap ( complete blood cells count ) meliputi pemeriksaan hemoglobin,
hematokrit, untuk menilai viskositas dan indikator faktor resiko seperti
hiperkoagulabilitas, anemia.
2.
Kimia
darah
a.
BUN,
kreatinin : peningkatan kadar menandakan penurunan perfusi atau faal renal
b.
Serum
glukosa : hiperlisemia ( diabetes mellitus adalah presipitator hipertensi )
akibat dari peningkatan kadar katelokolamin
c.
Kadar
kolesterol atau trigliserida : peningkatan kadar mengindikasikan predisposisi
pembentukan plaque atheromatus.
d.
Studi
tiroid ( T3 dan T4 ) : menilai adanya hipertiroidisme yang berkontribusi
terhadap vasokontriksi dan hipertensi.
e.
Asam
urat : hiperuricemia merupakan implikasi resiko hipertensi.
3.
Elektrolit
a.
Serum
potassium atau kalium ( hipokalemia mengindikasikan adanya aldosteronisme atau
efek samping terapi diuretik )
b.
Serum
kalsium bila meningkat berkontribusi terhadap hipertensi
4.
Urine
a.
Analisis
urine adanya darah, protein, glokosa dalam urine mengindikasikan disfungsi
renal atau diabetes.
b.
Urine
VMA ( cathecholamine metabolite ) : peningkatan kadar mengindikasikan adanya
pheochromacytoma.
c.
Steroid
urine : peningkatan kadar mengindikasikan hiperadrenalisme. Pheochromacytoma
atau disfungsi pituitary , sindrom Cushing’s : kadar resis juga meningkat.
5.
Radiologi
a.
Intra
Venous Pyelografi (IVP) : mengindikasikan penyebab hipertensi seperti renal
pharenchymal disease . urolithiasis , benign prostate hyperplasia ( BPH )
b.
Rontgen
toraks : menilai adanya klasifikasi obstruktif katup jantung , deposit kalsium
pada aorta, dan pembesaran jantung .
6.
EKG
: menilai adanya hipertrofi miokard , pola strain , gangguan konduksi atau
disritmia
2.10 Penatalaksanaan
Pengelolaan
hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat
komplikasikardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan
tekanan darah dibawah 140/90mmHg. Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi
meliputi :
2.9.1
Penatalaksanaan
Non Farmakologis.
Penatalaksanaan
non farmakologis digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagai
tindakan suportif padahipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini
meliputi :
1. Diet
Diet yang
dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :Restriksi
garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr . Diet rendah
kolesterol dan rendah asam lemak jenuh. Penurunan BB dapat menurunkan tekanan
darah dan diimbangi dengan penurunan aktivitas rennin dalam plasma dan kadar
adosteron dalam plasma.
2. Aktivitas.
Klien disarankan
untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan dengan batasan medis dan
sesuai dengan kemampuan seperti berjalan, jogging, bersepeda atau berenang.
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan
untuk penderita hipertensi adalah olahraga
yang mempunyai prinsip yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging,
bersepeda, berenang dan lain-lain. Intensitas
olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-87 % dari
denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan. Lamanya latihan berkisar
antara 20 ± 25 menit berada dalam zona latihan. Frekuensi latihan sebaiknya 3 x
perminggu dan paling baik 5 x perminggu.
3.
Edukasi
Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
a.
Tehnik
Biofeedback
Biofeedback
adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek tanda-tanda
mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal. Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan somatik seperti nyeri kepala danmigrain, juga untuk
gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.
b. Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang
bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan,dengan cara melatih
penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks.
c. Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit
hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan
hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
2.9.2 Penatalaksanaan Farmakologis.
Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan
tekanan darah saja tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita
dapat bertambah kuat. Pada hipertensi sekunder, pengobatannya tidak hanya
terfokus pada hipertensinya saja, melainkan juga pada penyakit yang menyebabkan
hipertensi sekunder. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup penderita. Pengobatan standar yang dianjurkan oleh
Komite Dokter Ahli Hipertensi ( JOINT NATIONALCOMMITTEE ON DETECTION,
EVALUATION AND TREATMENT OF HIGH BLOOD PRESSURE,USA, 1988 ) menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat
beta, antagonis kalsium, atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan
memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lainyang ada pada penderita. Pengobatannya meliputi :
a. Step 1 : Obat pilihan pertama
Obat diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE
inhibitor
b. Step 2 : Alternatif yang bisa diberikan
Dosis obat pertama dinaikkan dan diganti jenis lain
dari obat pilihan pertama. Selanjutnya ditambah obat ke-2 jenis lain, dapat
berupa diuretika , beta blocker, Ca antagonis, Alpablocker, clonidin,
reserphin, vasodilator
c. Step 3 : Alternatif yang bisa ditempuh
Obat ke-2 diganti. Ditambah obat ke-3 jenis lain.
d. Step 4 : Alternatif pemberian obatnya
Ditambah obat ke-3 dan ke-4. Re-evaluasi dan konsultasi.Follow Up
untuk mempertahankan terapi. Untuk mempertahankan terapi jangka panjang, memerlukan interaksi dan komunikasi yang baik antara pasien dan petugas kesehatan ( perawat,
dokter ) dengan cara pemberian pendidikan kesehatan.
Secara garis besar terdapat bebrapa hal
yang perlu diperhatikan dalam pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi
yaitu:
1. Mempunyai efektivitas yang tinggi.
1. Mempunyai efektivitas yang tinggi.
2. Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal.
3. Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4. Tidak menimbulakn intoleransi.
5. Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
6. Memungkinkan penggunaan jangka panjang.
Untuk
dapat menggunakan obat antihipertensi yang rasional, maka perlu dipahami tempat
kerja dan mekanisme kerja masing-masing obat. Secara umum, terdapat 7 macam
golongan obat, yaitu diuretic, ACE-I, ARB, CCB, antiadrenergik, vasodilator,
dan antagonis reseptor mineralokortikoid. Dosis obat-obat tersebut dapat
dilihat pada keterangan di bawah ini.
1.
Diuretic
Diuretic memiliki efek antihipertensi
dengan cara menurunkan volume ekstraseluler dan plasma sehingga terjadi
penurunan curah jantung. Thiazide menghambat reabsorbsi Na+ di segmen kortikal
ascending limb, loop Henle dan pada bagian awal tubulus distal. Pada studi
ALLHAT menunjukan bahwa diuretika golongan thiazide lebih baik dalam mencegah
komplikasi kardiovaskular dibandingkan dengan ACE-I dan CCB, disamping itu
harganya tidak mahal, sehingga dianjurkan sebagai obat lini pertama hipertensi
baik sebagai monoterapi ataupun dengan kombinasi golongan lain. Pada penggunaan
jangka panjang juga dilaporkan terjadi penurunan resistensi vascular perifer.
Efek samping yang sering dijumpai adalah hipokalemia, hiponatremia,
hiperurisemia, dan gangguan lain seperti kelemahan otot, muntah dan pusing.
Pada gangguan fungsi ginjal, thiazide tidak dianjurkan karena tidak menunjukan
efek antihipertensi dan pada keadaan ini dapat digunakan diuretic loop seperti
furosemide dan asam etakrinat yang merupakan diuretic kuat. Golongan ini
bekerja pada segmen tebal medullay ascending limb, loop Henle. Diuretic jenis
lain adalah potassium sparing diuretics seperti aldactone dan triamteren yang
menghambat ekskresi Na+, sekresi K+ dan H+ pada tubulus distal. Hiperkalemia
adalah efek samping yang dapat terjadi sehingga obat ini jarang dipakai pada
hipertensi dengan penurunan fungsi ginjal.
2.
Angiotensin
Converting Enzym-Inhibitors (ACE-I)
Obat golongan ini menghambat ACE
(enzim yang mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II). Obat ini semakin
dikenal dalam terapi inisial. Obat ini berguna karena tidak hanya menghambat
pembentukan vasokonstriktor poten (angiotensin II) tetapi juga memperlambat
degradasi vasodilator (bradikinin), mengubah produksi prostaglandin dan mengubah
aktivitas system saraf adrenergic. Obat ini berguna terutama pada hipertensi
renal atau renovaskular dan pada pasien diabetes. Obat ini juga merupakan salah
satu obat utama dalam gagal jantung kiri, dan juga bermanfaat untuk infark
jantung akut, terutama dengan gangguan faal jantung kiri. Efek samping yang
terjadi berupa batuk (5-10%), hiperkalemia pada pasien insufisiensi renal dan
angioedema. Pada pasien dengan stenosis arteri renal bilateral, penurunan
fungsi ginjal yang cepat dapat terjadi.
Obat golongan
ini yang pertama kali digunakan di klinik adalah enalapril dan captopril, namun
saat ini telah banyak beredar ACE-I yang lain. Pada hipertensi ringan dan
sedang, captopril dapat diberikan 12,5 mg, 2x/hari. Dosis yang biasa adalah
25-50 mg/hari. Saat ini telah diketahui bahwa aktivasi sitem renin angiotensin
bertanggung jawab terhadap efek merusak pada kardiovaskular dan ginjal, dan
dengan dihambat oleh ACE-I, maka efektivitas dalam melawan perubahan
organ-organ ini, walaupun pasien tanpa hipertensi.
3.
Angiotensin II Reseptor Blockers (ARB)
Obat ini yang paling
selektif dalam menghambat sistem renin-angiotensin, dan mempunyai efek yang
sama dengan ACE-I. obat ini secara kompetitif menghambat pengikaannya terhadap
reseptor angiotensin II subtipe AT1. Perangsangan pada AT1 akan menyebabkan
vasokonstriksi, retensi air dan garam, pembentukan aldosteron, perangsangan
sirupatis, hipertrofi jantung, pembuluh darah dan glomerulus, pembentukan
radikal bebas, oksidasi LDL, menyebabkan adesi, proses peradangan, dan
merangsang efek proaterogenesis. Sedangkan reseptor AT2 mempunyai efek
antiproliferatif organ target, efek sel diferensiasi, regenerasi, apoptosis dan
efek vasodilatasi. ARB secara selektif menghambat perangsangan AT1 sehingga
efek vasokonstriksi dan proaterogenik dari angiotensin II dapat dicegah,
sedangkan AT2 tidak dihambat sehingga terjadi vasodilatasi dan antiproliferasi.
Jadi kedua efek tersebut dapat menurunkan tekanan darah dan memberikan proteksi
organ target, seperti jantung, pembuluh darah, ginjal. Efikasi dan
tolerabilitas ARB serupa dengan ACE-I tetapi dengan sedikit efek samping.
Secara spesifik, ARB tidak menyebabkan batuk dan angioedema karena tidak
meningkatkan kadar bradikinin. Seperti ACE-I, ARB juga dikontraindikasikanuntuk
wanita hamil dan stenosis arteri renalis bilateral.
4.
Calcium Channel Blocker (CCB)
Terdapat 3 subkelas CCB yaitu derivat phenyilalkilamine
(verapamil), benzothiazepine (diltiazem), dan dihydropyridine (amlodipine).
Golongan obat ini menghambat masuknya Ca2+ melalui saluran kalsium, menghambat
pengeluaran Ca2+ dari pemecahan retikulum sarkoplasma, dan mengikat Ca2+ pada
otot polos pembuluh darah. Selain efek pada pembuluh darah perifer dengan
menurunkan resistensi perifer sehingga dapat menurunkan TD, CCb juga mempunyai
efek hormonal dan renal yang mempengaruhi efek antihipertensi. Ketiga subtipe
ini menyebabkan vasodilatasi, namun hanya dihydropyridine yang menyebabkan
takikardi, sementara diltiazem dan verapamil menyebabkan perlambatan konduksi
atrioventikular. Saat ini semua obat golongan CCb menunjukan efek
antihipertensi yang efektif dan aman, sehingga obat golongan ini diusulkan
sebagai obat hipertensi lini pertama. Penggunaan CCb saat ini luas, baik dalam
penatalaksanaan hipertensi dengan penyakit jantung koroner maupun keadaan lain
seperti hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri, hipertensi dengan asma
bronkial, pasien diabetes mellitus, gagal ginjal kronis, dan pasien dengan
penyakit pembuluh darah perifer. Dan pada akhir-akhir ini, CCb dianjurkan untuk
hipertensi dengan usia lanjut. Saat ini, CCb diharapkan mempunyai efek anti
aterosklerosis seperti yang ditunjukan dalam studi INSIGHT dimana progresivitas
penebalan intima media thickness dapat dihambat dan klasifikasi pembuluh
koroner dapat dikurangi. Namun, pemberian CCb haruslah memperhatikan
kontraindikasi seperti gagal jantung yang berat, sindrom sick sinus, adanya
gangguan konduksi di nodus atrioventrikular ataupun sinoatrial. Efek samping
yang timbul dapat berupa rasa panas pada muka dan edema pada ekstremitas bawah.
5.
Antiadrenergik
a.
Penghambat reseptor – adrenergik
Obat ini menghambat efek simpatik pada jantung dan paling efektif dalam
menurunkan cardiac output dan menurunkan tekanan darah arteri pada keadaan
terjadi peningkatan sktivitas saraf simpatis jantung. Obat ini sering digunakan
sebagai terapi lini pertama. Obat ini terutama berguna bila diberikan bersama
vasodilator, dimana cenderung untuk meningkatkan aktivitas renin. Dalam
prakteknya, b-blocker efektif walaupun tidak terdapat peningkatan tonus simpatis.
Obat ini dapat mempresipitasi gagal jantung dan asma dan sebaiknya digunakan
dengan perhatian pada pasien diabetes yang menerima terapi hipoglikemik karena
b-blocker menghambat reaksi simpatis akibat hipoglikemi. B-blocker
kardioselektif (beta-blocker seperti metaprolol, etanol) lebih superior
dibandingkan dengan yang nonkardioselektif seperti propanolol dan timolol pada
pasien dengan bronkospasme. Obat yang bekerja sentral seperti clonidine dan
metildopa menstimulasi reseptor 2 vasomotor di otak, sehingga sapat menurunkan
simpatis dan tekanan arteri. Biasanya penurunan cardiac output dan denyut
jantung juga terjadi. Hipertensi rebound dapat terjadi bila clonidine
dihentikan, hal ini mungkin secara sekunder akibat peningkatan pelepasan
epinefrin. Obat ini tidak digunakan sebagai lini pertama.
b.
Penghambat reseptor a-adrenergik
Obat golongan ini tidak digunakan sebagai terapi lini pertama. Terdapat 2
reseptor alfa yaitu alfa 1 dan alfa 2, dimana alfa 2 berkaitan dengan kejadian
toleransi. Prazosin, terazosin, dan doxazosin lebih efektif dibandingkan dengan
phentolamine dan phenoxybenzamine karena secara selektif hanya menghambat
reseptor alfa 1. Ketiga obat ini dapat menyebabkan hipotensi pada dosis
pertama. Penggunaan obat-obat tersebut menurun berkaitan dengan pelaporan
peningkatan kejadian kardiovaskular.
6.
Vasodilator
Golongan obat
ini tidak digunakan sebagai terapi inisial. Hidralazine dapat menyebabkan
relaksasi otot polos pembuluh darah terutama pada resistensi arterial. Namun
obat ini dapat menyebabkan refleks peningkatan simpatis yang meningkatkan
frekuensi jantung dan cardiac output sehingga penggunaannya terbatas terutama
pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Diazoxide, nitroprusside dan
nitrogliserin digunakan pada terapi hipertensi emergency.
7.
Antagonis Reseptor Mineralokortikoid
Saat ini diketahui
bahwa aldosteron tidak hanya mempunyai efek pada ginjal tetapi juga pada
jantung dan pembuluh darah berkaitan dengan fibrosis dan hipertrofi.
Spironolactone lebih efektif digunakan pada terapi hipertensi dengan kadar
mineralokortikoid berlebih seperti pada aldosteronisme sekunder. Namun pada
studi uji klinis RALES pada gagal jantung, penggunaan spironolactone dosis
rendah dapat menurunkan mortalitas 30%, sehingga diduga bahwa antagonis
reseptor aldosteron berguna walaupun kadar aldosteron relatif normal.
Bila diketahui adanya hipertensi sekunder, penatalaksanaan farmakologis
tidak hanya focus pada hipertensinya saja, melainkan pada penyakit yang dapat
menyebabkan hipertensi itu muncul dan disesuaikan
dengan penyebabnya. Hipertensi ginjal selain dilakukan pembatasan natrium dan
pemberian obat antihipertensi (diuretik thiazide, diuretik loop, ACE-I, CCB)
juga dengan diet rendah protein. Sedangkan penatalaksanaan hipertensi
renovaskular meliputi terapi obat, Percutaneus Transluminal Renal Angioplasty
(PTRA), nefrektomi dan ablasi renal. Penatalaksanaan sindrom Cushing tergantung
penyebabnya, bila tumor adrenal sebagai penyebab maka dilakukan tindakan
pembedahan dan pemberian kortikosteroid sebagai substitusi, sedangkan apabila
karena hiperplasia akibat rangsangan ACTH, pengobatan ditujukan baik terhadap
kelenjar adrenal maupun hipofisis. Penatalaksanaan hiperaldosteronisme primer
juga tergantung penyebab, dimana bila penyebabnya adalah adenoma, maka dilakukan
pembedahan, sedangkan pada bentuk hiperplasia pengobatan ditujukan untuk
memperbaiki keseimbangan elektrolit dengan pemberian antagonis aldosteron atau
diuretik hemat kalium. Pemberian pengobatan medika-mentosa (fenoksibenzamin
atau prazosine oral) pada feokromositoma sangat bermanfaat sebelum tindakan
pembedahan.
2.9.3 Follow-Up dan Monitor
Sekali obat antihipertensi diberikan, kebanyakan pasien
sebaiknya kembali untuk follow up dan menilai kembali obat yang diberikan dalam
interval 1 bulan atau kurang sampai target tekanan darah dicapai. Kedatangan
yang lebih sering diperlukan untuk pasien hipertensi derajat 2 atau adanya
komplikasi. Kalium dan kreatinin serum sebaiknya dimonitor paling sedikit
1-2x/tahun. Setelah tekanan darah tercapai dan stabil, follow up biasanya
dilakukan dalam interval 3-6 bulan. Adanya komorbiditas seperti gagal jantung
yang berhubungan dengan penyakit seperti diabetes, dan perlunya pemeriksaan
laboratorium mempengaruhi frekuensi kedatangan. Faktor resiko kardiovaskular
lainnya sebaiknya dimonitor dan diterapi. Terapi aspirin dosis rendah sebaiknya
dipertimbangkan hanya pada hipertensi yang terkontrol karena resiko stroke
hemoragik akan meningkat pada hipertensi yang tidak terkontrol.
Hal-hal
yang harus diperhatikan dalam interaksi pasien dengan petugas kesehatan adalah
sebagai berikut :Setiap kali penderita periksa, penderita diberitahu hasil
pengukuran tekanan darahnya. Bicarakan dengan penderita tujuan yang hendak
dicapai mengenai tekanan darahnya. Diskusikan
dengan penderita bahwa hipertensi tidak dapat sembuh, namun bisa dikendalikan
untuk dapatmenurunkan morbiditas dan mortilitas. Yakinkan penderita bahwa penderita tidak dapat mengatakan tingginya
tekanan darah atas dasar apa yang dirasakannya, tekanan darah hanya dapat diketahui
dengan mengukur memakai alat tensimeter. Penderita tidak boleh
menghentikan obat tanpa didiskusikan lebih dahulu. Sedapat mungkin tindakan terapi dimasukkan dalam cara
hidup penderita. Ikut sertakan keluarga penderita dalam
proses terapi. Pada penderita tertentu mungkin menguntungkan bila penderita atau keluarga dapat
mengukur tekanan darahnya
di rumah. Buatlah sesederhana mungkin pemakaian obat anti hipertensi misal 1 x
sehari atau 2 x sehari. Diskusikan dengan penderita tentang obat-obat anti
hipertensi, efek samping dan masalah-masalah yang mungkin terjadi. Yakinkan
penderita kemungkinan perlunya memodifikasi dosis atau mengganti obat untuk
mencapai efek samping minimal dan efektifitas maksimal. Usahakan biaya
terapi seminimal mungkin. Untuk penderita yang kurang patuh, usahakan kunjungan
lebih sering. Hubungi segera penderita, bila tidak datang pada waktu yang
ditentukan. Melihat pentingnya kepatuhan pasien dalam pengobatan maka sangat
diperlukan sekali pengetahuan dan sikap pasien tentang pemahaman dan
pelaksanaan pengobatan hipertensi.
2.11 Prognosis
Untuk
hipertensi ditentukan oleh sifat penyakit yang mendasari dan ketanggapannya
terhadap terapi spesifik misalnya pada
ketahanan hidup pada penderita dengan penyakit
tertentu.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
Pengkajian
1.
Identitas pasien
Nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan
2.
Keluhan pasien
a.
Pusing
b.
Telinga
berdengung
c.
Sukar
tidur
d.
Sesak
nafas
e.
Rasa
berat di tengkuk
f.
Mudah
lelah
g.
Mata
berkunang-kunang
3. Riwayat kesehatan
a.
Riwayat
penyakit keluarga hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, penyakit jantung
koroner, stroke atau penyakit ginjal.
b.
Lama
dan tingkat tekanan darah tinggi sebelumnya dan hasil serta efek sampinng obat
antihipertensi sebelumnya.
c.
Riwayat
atau gejala sekarang penyakit jantung koroner dan gagal jantung, penyakit
serebrovaskuler, penyakit vaskuler perifer, diabetes mellitus, pirai,
dislipidemia, asma bronkhiale, disfungsi seksual, penyakit ginjal, penyakit
nyata yang lain dan informasi obat yang diminum.
d.
Penilaian
faktor risiko termasuk diet lemak, natrium, dan alcohol, jumlah rokok, tingkat
aktifitas fisik, dan peningkatan berat badan sejak awal dewasa.
e.
Riwayat
obat-obatan atau bahan lain yang dapat meningkatkan tekanan darah termasuk
kontrasepsi oral, obat anti keradangan nonsteroid, liquorice, kokain dan
amfetamin. Perhatian juga untuk pemakaian eritropoetin, siklosporin atau
steroid untuk penyakit yang bersamaan.
f.
Faktor
pribadi, psikososial, dan lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil pengobatan
antihipertensi termasuk situasi keluarga, lingkungan kerja, dan latar belakang
pendidikan.
4.
Pengkajian
data dasar
A.
Aktifitas
atau istirahat (Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala: kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup
monoton
Tanda: frekuensi jantung meningkat, perubahan
irama jantung, takipnea
B.
Sirkulasi
(Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala: riwayat hipertensi, aterosklerosis,
penyakit jantung koroner/ katup dan penyakit serebrovaskular, episode
palpitasi, perspirasi
Tanda:
a.
kenaikan
tekanan darah ( pengukuran serial dari kenaikan tekanan darah diperlukan untuk
menegakkan diagnosis)
b.
hipotensi
postural ( mungkin berhubungan dengan regimen obat)
c.
nadi:
denyutan jelas dari karotis, jugularis, radialis ; perbedaan denyut seperti
denyut femoral melambat sebagai kompensasi denyutan radialis atau brakialis,
denyut popliteal,tibialis posterior, pedalis tidak teraba atau lemah
d.
frekuensi/irema:
takikardia, berbagai disritmia
e.
bunyi
jantung: tedengar S2 pada dasar, S3 (Congestive Heart Failure dini), S4
(pengerasan ventrikel kiri/hipertrofi ventrikel kiri)
f.
murmur
stenosis valvular
g.
desiran
vascular terdengar diatas karotis, femoralis, atau epigastrium (stenosis
arteri)
h.
DVJ
(Distensi Vena Jugularis) (kongesti vena)
i.
Ekstremitas:
perubahan warna kulit, suhu dingin (vasokonstriksi perifer), pengisian kapiler
mungkin lambat/tertunda (vasokonstriksi)
j.
Kulit:
pucat, sianosis, dan diaphoresis (kongesti, hipoksemia), kemerahan
(feokromositoma)
C.
Integritas
ego (Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:
a.
riwayat
perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria, atau marah kronik (dapat
mengindikasikan kerusakan serebral)
b.
factor-faktor
stress multiple (hubungan, keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan)
Tanda:
a.
letupan
suasana hati, gelisah, penyempitan kontinu perhatian, tangisan yang meledak
b.
gerak
tangan empati, otot muka tegang (khususnya sekitar mata), gerakan fisik cepat,
pernafasan menghela, peningkatan pola bicara
D.
Eliminasi
(Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:
a.
ganguan
ginjal saat ini atau yang lalu (seperti:infeksi/obstruksi atau riwayat penyakit
masa lalu)
b.
makanan/cairan
E.
Makanan/cairan
(Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:
a.
makanan
yang disukai, yang dapat mencakup makanan tinggi garam, tinggi lemak, tinggi
kolesterol (seperti: makanan yang digoreng, keju, telur) ; gula-gula yang
berwarna hitam; kandungan tinggi kalori
b.
mual,
muntah
c.
perubahan
berat badan akhir-akhir ini (meningkat/turun)
d.
riwayat
penggunaan diuretic
Tanda:
a.
berat
badan normal atau obesitas
b.
adanya
edema (mungkin umum atau tertentu); kongesti vena, DVJ; glikosuria (hamper 10%
pasien hipertensi adalah diabetik)
F.
Neurosensori
(Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:
a.
keluhan
pening/pusing
b.
berdenyut,
sakit kepala suboksipital (terjadi saat bangun dan menghilang secara spontan
setelah beberapa jam)
c.
episode
kebas dan/ atau kelemahan pada satu sisi tubuh
d.
gangguan
penglihatan (diplopia, penglihatan kabur)
e.
episode
epistaksis
Tanda:
a.
status
mental: perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi bicara, afek, proses fikir,
atau memori (ingatan)
b.
respon
motori: penurunan kekuatan genggaman tangan dan/ atau reflek tendon dalam
c.
perubahan-perubahan
retinal optic: dari sklerosis/penyempitan arteri ringan sampai berat dan
perubahan sklerotik dengan edema atau papiledema, eksudat, dan hemoragi tergantung pada berat/ lamanya
hipertensi
G.
Nyeri/ketidaknyamanan
(Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:
a.
angina
(penyakit arterikoroner/keterlibatan jantung)
b.
nyeri
hilang timbul pada tungkai/ klaudikasi (indikasi arteriosklerosis pada arteri
ekstremitas bawah)
c.
sakit
kepala oksipital berat seperti yang pernah terjadi sebelumnya
d.
nyeri
abdomen/masssa(feokromositoma)
H.
Pernafasan
(secara umum berhubungan dengan efek kardiopulmonal tahap lanjut dari
hipertensi menetap/berat) (Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:
a.
dispnea
yang berkaitan dengan aktifitas atau kerja
b.
takipnea,
ortopnea, dispnea noctural paroksismal
c.
batuk
dengan/ tanpa pembentukan sputum
d.
riwayat
merokok
Tanda:
a.
distress
respirasi/ penggunaan otot aksesori pernafasan
b.
bunyi
nafas tambahan (crecles atau mengi)
c.
sianosis
I.
Keamanan (Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:
a.
gangguan
koordinasi/cara berjalan
b.
episode
parestesia unilateral transien
c.
hipotensi
postural
J.
Pembelajaran/penyuluhan
(Marilynn E. Doenges, 2000)
Gejala:
a.
factor-faktor
resiko keluarga: hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung, diabetes
mellitus, serebrovaskular/ginjal
b.
factor-faktor
resiko etnik: se[erti orang afrika-amerika, asia-tenggara
c.
pengunaan
pil KB atau hormon lain; penggunaan obat/alcohol
K.
Pertimbangan
rencana pemulangan (Marilynn E. Doenges, 2000) :
a.
DRG
menunjukan rerata lamanya dirawat : 4,2 hari
b.
Bantuan
dengan pemantauan-diri TD
c.
Perubahan
dalam terapi obat
3.2
Diagnosa
Keperawatan
a. Risiko
tinggi terhadap penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan
afterload, vasokonstriksi, iskemi miokard, hipertrofi/ rigiditas ventrikel.
Tujuan:
Tidak
terjadi penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload,
vasokonstriksi, iskemi miokard, hipertrofi/ rigiditas ventrikel.
Kriteria
hasil:
Dapat
mempertahankan tekanan darah dalam rentang individual yang dapat diterima,
irama jantung (vascular), dan denyut jantung dalam batas normal (60-100x/menit).
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
Pantau tekanan
darah. Ukur pada kedua tangan/paha untuk evaluasi awal. Gunakan ukuran manset yang tepat dan teknik yang akurat.
|
Perbandingan dari tekanan memberikan gambaran yang
lebih lengkap tentan keterlibatan/bidang masalah vaskular. Hipertensi berat
diklasifikasikan pada orang dewasa dengan pengukuran diastolik > 130 dan
dipertimbangkan sebagai peningkatan pertama, kemudian maligna. Hipertensi
sistolik juga merupakan faktor risiko yang ditentukan untuk penyakit
serebrovaskular dan penyakit iskemia jantung bila tekanan diastolik 90 – 115.
|
2.
Catat keberadaan,
kualitas denyutan sentral dan perifer.
|
Denyutan karotis, jugularis, radialis dan femoralis
mungkin terpalpasi. Denyut pada tungkai mungkin menurun, mencerminkan efek
dari vasokonstriksi dan kongesti vena.
|
b. Intoleransi aktivitas berhubungan
dengan kelemahan umum ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Tujuan:
Agar
pasien mampu beraktivitas tanpa keluhan yang berarti.
Kriteria
hasil:
Pasien
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri dengan teknik penghematan
energy (pembatasan aktivitas berat) dan pemenuhan kebutuhan oksigen tercukupi
(pasien tidak sesak nafas).
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji respons klien terhadap aktivitas dan catat: denyut
nadi,tekanan darah paska aktivitas, keluhan sesak napas, nyeri dada,
keletihan yang sangat, diaforasis, pusing atau syncope.
|
Tanda dan gejala tersebut
mengindikasikan penurunan curah jantung dan perfusi jaringan, akibat
peningkatan preload dan afterload ventrikel kiri.
|
2.
Anjurkan klien menggunakan teknik penghematan
tenaga saat beraktivitas. Bantu pemenuhan aktivitas sehari-hari sesuai
kebutuhan. Anjurkan aktivitas secara bertahap sesuai toleransi klien.
|
Penghematan energi mengurangi konsumsi
oksigen pada miokard.
|
3.
Pertahankan pembatasan aktivitas, buat jadwal
terapi yang tidak mengganggu masa istirahat klien.
|
Lingkungan nyaman dan pembatasan
aktivitas menurunkan konsumsi oksigen miokard.
|
c.
Risiko
tinggi terhadap injuri atau trauma fisik berhubungan dengan pandangan kabur,
ruptur pembuluh darah otak, epistaksis.
Tujuan:
Mengurangi
nyeri dan menurunkan tekanan pembuluh darah otak.
Kriteria
hasil:
Nyeri
dan tekanan pembuluh darah otak dapat berkurang.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Pertahankan bedrest selama fase akut.
|
Bedrest adekuat dan tindakan
kenyamanan membantu merelaksasikan otot dan menurunkan kecemasan.
|
2.
Kaji ulang fisus klien, tanyakan keluhan terhadap
pandangan kabur.
|
Pandangan kabur dan penurunan fisus
adalah indikator kerusakan retina mata.
|
3.
Kolaborasi pemberian pengobatan: analgesik,
trankuilizer(diasepam), pemeriksaan fundus mata (konsultasi dengan dokter
ahli mata).
|
Mengurangi nyeri kepala
Menurunkan kecemasan dan membantu
tidur
Menilai komplikasi hipertensi pada
mata (retina).
|
d.
Perubahan
nutrisi (lebih dari kebutuhan tubuh) berhubungan dengan kelebihan asupan
makanan, gaya hidup, kebiasaan, atau budaya.
Tujuan:
Mengatur
agar berat badan dalam batas normal/ ideal (BB ideal= TB-110), klien mampu
mengubah pola makan, gaya hidup, dan pola olahraga.
Kriteria
hasil:
Berat
badan dalam batas normal/ ideal (BB ideal= TB-110), klien mampu mengubah pola
makan, gaya hidup, pola olahraga, dan memenuhi kebutuhan nutrisi yang cukup
melalui pengukuran antropometri, biokimia, clinis, dan diet.
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Bantu klien memahami hubungan antara hipertensi
dan obesitas.
|
Mal-diet menyebabkan obesitas,
hipertensi, dan memicu serangan jantung.
|
2.
Review asupan kalori harian dan pilihan diet.
|
Pengaturan berat badan dapat mencegah
obesitas dan komplikasinya.
|
3.
Anjurkan meningkatkan konsumsi makanan yang
mengandung asam lemak tak jenuh.
|
Asam lemak tidak jenuh membantu
menurunkan kadar kolesterol darah.
|
4.
Berikan diet rendah garam dan kolesterol; dan pembatasan
cairan.
|
Diet rendah garam dan kolesterol; dan
pembatasan cairan mencegah peningkatan volume cairan ekstraseluler yang dapat
meningkatkan tekanan darah.
|
e.
Risiko
kekambuhan/ ketidakpatuhan terhadap program perawatan diri yang berhubungan
dengan kurangnya pengetahuan tentang program pengobatan, aturan penanganan dan
kontrol proses penyakit.
Tujuan:
Agar
tidak terjadi peningkatan tekanan darah, dan terpenuhinya pengetahuan tentang
program pengobatan, dan kontrol penyakit.
Kriteria
hasil:
Tidak
terjadi peningkatan tekanan darah, dan terpenuhinya pengetahuan tentang program
pengobatan, dan kontrol penyakit. Klien mampu dalam menjelaskan faktor-faktor
yang meningkatkan tekanan darah.
Intervensi
|
Rasional
|
Diskusikan dengan klien mengenai
tekanan darah normal.
|
Diharapkan dapat mempermudah
menerangkan penyakitnya.
|
Diskusikan farmakokinetik dan
farmakodinamik obat-obat hipertensi yang dimiliki klien.
|
Pemahaman yang baik tentang fungsi
setiap obat dapat membantu proses interaksi obat-obat yang diminum.
|
Jelaskan
mengenai manfaat diet rendah garam, rendah lemak, dan cara mempertahankan
berat yang ideal.
|
Rendah garam untuk mengurangi retensi
cairan, rendah lemak untuk mengurangi beban kerja jantung.
|
Diskusi dengan klien mengenai jenis
makanan rendah garam dan rendah lemak.
|
Diharapkan agar klien dapat mengurangi
konsumsi makan tersebut untuk mengurangi risiko kambuh.
|
Jelaskan kepada klien dan keluarga
mengenai faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko kambuh seperti rokok,
konsumsi garam yang berlebihan, dan stres.
|
Agar klien dapat menghindari
faktor-faktor yang meningkatkan risiko kambuh dan keluarga dapat memberikan
lingkungan yang mendukung penyembuhan.
|
Berikan dukungan pada klien dan
keluarga tentang pentingnya program pemeliharaan tekanan darah.
|
Dukungan yang baik akan meningkatkan
kemauan klien dan keluarga untuk mendukung pemeliharaan tekanan darah.
|
Jelaskan kepada klien bila berat badan
meningkat dan edema ekstremitas agar segera memeriksakan diri.
|
Berat badan meningkat, merupakan
indikasi yang memungkinkan terjadinya peningkatan tekanan darah kembali.
|
Menyarankan keluarga agar memanfaatkan
sarana kesehatan di masyarakat.
|
Untuk memudahkan klien dalam memonitor
status kesehatannya.
|
Setelah meminum obat antihipertensi,
maka pantau tanda vital terutama tekanan darah dan denyut nadi.
|
Efektivitas terapi obat ditentukan
dengan terpeliharanya tekanan darah dan denyut nadi yang diinginkan.
|
f. Kelebihan
volume cairan b.d meningkatnya beban awal, penurunan curah jantung sekunder
terhadap infark miokard
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
Identifikasi
faktor penyebab dan penunjang, misal diet yang tidak tepat (intake natrium
berlebih), kurangnya pengetahuan tentang pemenuhan hal-hal yang berkaitan
dengan pengobatan.
|
Pengawasan intake diet dipantau untuk menjaga
kestabilan tekanan darah agar tidak terjadi penumpukan cairan yang dapat
menyembabkan edema jaringan.
|
2.
Identifikasi dan
awasi intake diet klien dan kebiasaan-kebiasaan yang mungkin menyokong
terjadinya retensi urin.
Lanjutkan dengan memberikan intake yang seseuai dengan
kebutuhan klien.
|
Pengawasan intake makanan pasien sangat diperlukan
untuk mencegah bertambahnya volume cairan dengan intake makanan yang tidak
terkontrol. Intake natrium yang tinggi dapat menyebabkan retensi air.
|
3.
Identifikasi
pengetahuan klien mengenai diagnosa medis, diet, pengobatan, aktivitas dan
penggunaan balutan ACE dan stoking emboli.
Lanjutkan dengan penyuluhan kesehatan jika
diindikasikan.
|
g. Gangguan
Pola tidur b.d memerlukan waktu yang berlebihan sekunder terhadap obat-obatan
antihipertensi
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
Berikan tempat
tidur yang nyaman, seperti bantal dan guling.
|
Meningkatkan kenyamanan tidur serta dukungan
fisiologis/psikologis.
|
2.
Dorong beberapa
aktivitas ringan selama siang hari. Jamin pasien berhenti beraktivitas
beberapa jam sebelum tidur.
|
Aktivitas siang hari dapat membantu pasien menggunakan energi
dan siap untuk tidur malam. Namun, kelanjutan aktivitas yang dekat dengan
waktu tidur dapat bertindak sebagai stimulan penghambat tidur.
|
3.
Tingkatkan
regimen kenyamanan waktu tidur, misal mandi air hangat dan masase, segelas
susu hangat sebelum tidur
|
Meningkatkan efek relaksasi. Catatan: susu mempunyai
kualitas soporfik, meningkatkan sintesis serotonin, neurotransmiter yang
membantu pasien tertidur dan tidur lebih lama.
|
4.
Instruksikan
tindakan relaksasi
|
Membantu menginduksikan tidur.
|
5.
Kurangi kebisingan
dan lampu
|
Memberikan situasi kondusif untuk tidur.
|
6.
Hindari
mengganggu bila mungkin, misal membangunkan untuk obat atau terapi.
|
Tidur tanpa gangguan lebih menimbulkan rasa segar dan
pasien mungkin tidak mampu kembali tidur bila terbangun.
|
3.3
Evaluasi
1.
mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat
a.
Tekanan darah dalam rentang yang dapat diterima dengan pengobatan , terapi
diet, dan perubahan gaya hidup.
b.
tidak menunjukkan gejala angina, palpitasi, atau penurunan penglihatan
2.
mematuhi program asuahan dini
a.
minum obat sesuai resep dan melaporkan setiap ada efek samping
b.
mematuhi aturan diet sesuai yang dianjurkan pengurangan natrium, kolesterol,
dan kalori.
c.
mengukur tekanan darahnya sendiri secara teratur, berhenti mengonsumsi
tembakau, kafein danalkohol
3.
bebas dari komplikasi
a.
kecepatan dan irama denyut nadi dan kecepatan napas dalam batas normal, tidak terjadi
dispnea atau edema.
b.
pemeriksaan fungsi ginjal dalam batas normal
c.
tidak mengalamisakit kepala, pusing, atau perubahan cara berjalan.
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Hipertensi didefinisikan
sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg ( Smith
Tom, 1995 ).
Hipertensi
berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan (Lany Gunawan, 2001)
yaitu:
1.
Hipertensi esensial (primer) : yaitu hipertensi yang
tidak diketahui penyebabnya
2.
Hipertensi sekunder : yaitu hipertensi yang disebabkan
oleh penyakit sistemik lain. misalnya gangguan hormon (Gushing),
penyempitan pembuluh darah utama ginjal (stenosis arteri renalis, akibat
penyakit ginjal (glomerulonefritis)},kelainan pada kelenjar
adrenal, kelainan pada arteri aorta, dan penyakit
sistemik lainnya (lupus nefritis).
Beberapa penyebab terjadinya hipertensi
sekunder:
1.
Penyakit Ginjal
2.
Kelainan Hormonal
3.
Obat-obatan
4.
Penyebab Lainnya
Manifestasi klinis dari hipertensi adalah sebagai berikut
:
1.
Pusing
2.
Mudah
marah
3.
Telinga
berdengung
4.
Mimisan
(jarang)
5.
Sukar
tidur
6.
Sesak
nafas
7.
Rasa
berat di tengkuk
8.
Mudah
lelah
9.
Mata
berkunang-kunang
Organ organ
tubuh sering terserang akibat hipertensi anatara lain mata
berupa perdarahan retina bahkan gangguan penglihatan sampai kebutaan,
gagal jantung, gagal ginjal, pecahnya pembuluh darah otak.
berupa perdarahan retina bahkan gangguan penglihatan sampai kebutaan,
gagal jantung, gagal ginjal, pecahnya pembuluh darah otak.
Pemeriksaan
Diagnostik
1.
Hitung
darah lengkap
2.
Kimia
darah
3.
Elektrolit
4.
Urine
5.
Radiologi
6.
EKG
Penatalaksanaan
pasien dengan hipertensi sekunder adalah penatalaksanaan secara farmakologis
dan non farmakologis
4.2
Saran
Mahasiswa yang mempelajari
makalah ini memahami asuhan keperawatan klien dengan hipertensi sekunder secara
keseluruhan dan mampu melaksanakan penatalaksanaan pada klien dengan hipertensi
sekunder dengan cermat. Apabila ada kesalahan mohon disampaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Grabber, Mark A. dkk.
1996. Dokter Keluarga. Edisi 3.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Asih, Niluh G.Y dan
Effendy, Christantie. 2002. Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Davey, Patrich. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
Tambayong, Jan. 1999. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Behrman. dkk. 1996. Ilmu Kesehatan Anak. Volume 2 Edisi 15. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Udjianti, Wajan Juni.
2010. Keperawatan Kardiovaskuler.
Jakarta: Salemba Medika.
Nettina, Sandra M. 1996. Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doenges, Marilynn E. dkk. 1993. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sisitem Kardiovaskular.Jakarta:
Salemba Medika.
Silbernagl, Stefan, Florian Lang. 2007. Patofisioligi. Jakarta: EGC.
Udjianti, Wajan Juni. 2010. Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika.