BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Secara kebahasaan bedah
berarti pengobatan penyakit dengan jalan memotong atau mengiris bagian tubuh
seseorang, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah aljirahah atau
‘amaliyyah bi al-jirahah yang berarti melukai, mengiris atau operasi
pembedahan.
Secara terminologis berarti
suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat atau organ
tubuh dan susunannya pada bagian dalam setelah dilakukan pembedahan atau
pelukaan, dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk
kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal.
Dalam ilmu kedokteran dikenal dengan istilah autopsi.
Berdasarkan tujuannya,
bedah mayat dapat dibagi tiga, yakni bedah mayat pendidikan (autopsi anatomis),
bedah mayat keilmuan (autopsi klinis), dan bedah mayat kehakiman (autopsi
forensik).
Bedah mayat pendidikan
adalah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori yang diperoleh oleh
mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan lainnya sebagai bahan
praktikum tentang ilmu urai tubuh manusia (anatomi).
Bedah mayat keilmuan
(autopsi klinis) adalah bedah mayat yang dilakukan terhadap mayat yang
meninggal di rumah sakit setelah mendapat perawatan yang cukup dari para
dokter. Bedah mayat ini biasanya dilakukan dengan tujuan mengetahui secara
mendalam sifat perubahan suatu penyakit, setelah dilakukan pengobatan secara
intensif terlebih dahulu semasa hidupnya. Disamping itu, bedah ini juga
bertujuan untuk mengetahui secara pasti jenis penyakit mayat yang tidak
diketahui secara sempurna selama ia sakit.
Sedangkan yang dimaksud
dengan bedah mayat kehakiman (autopsi forensik) adalah bedah mayat yang
bertujuan mencari kebenaran hukum dari suatu peristiwa yang terjadi, seperti
dugaan pembunuhan, bunuh diri, atau kecelakaan.Bedah mayat semacam ini
dilakukan biasanya atas permintaan pihak kepolisian atau kehakiman untuk
memastikan sebab kematian seseorang. Misalnya karena tindak pidana kriminal
atau kematian alamiah.
Melalui hasil visum dokter kehakiman (visum et repertum) biasanya akan diperoleh penyebab yang sebenarnya. Hasil visum ini akan memengaruhi keputusan hakim dalam menentukan hukuman yang akan dijatuhkan. Jika sebelum divisum telah diketahui pelakunya, maka visum ini berfungsi sebagai bukti penguat atas dugaan yang terjadi. Akan tetapi, jika tidak diketahui secara pasti pelakunya, jika bukan karena kematian secara alamiah, maka bedah mayat kehakiman ini merupakan alat bukti bahwa kematiannya bukan secara alamiah dengan dugaan pelakunya adalah orang tertentu.
Melalui hasil visum dokter kehakiman (visum et repertum) biasanya akan diperoleh penyebab yang sebenarnya. Hasil visum ini akan memengaruhi keputusan hakim dalam menentukan hukuman yang akan dijatuhkan. Jika sebelum divisum telah diketahui pelakunya, maka visum ini berfungsi sebagai bukti penguat atas dugaan yang terjadi. Akan tetapi, jika tidak diketahui secara pasti pelakunya, jika bukan karena kematian secara alamiah, maka bedah mayat kehakiman ini merupakan alat bukti bahwa kematiannya bukan secara alamiah dengan dugaan pelakunya adalah orang tertentu.
Di Indonesia, undang-undang
melarang warganya untuk menghalangi petugas melakukan pembedahan atas mayat
demi kepentingan peradilan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal
222 dijelaskan, "Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi,
atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak/sebanyak-banyaknya
tiga ratus rupiah." Untuk mengantisipasi kemaslahatan bedah mayat
ini, Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak Departemen Kesehatan RI pada
Fatwa No. 4 tahun 1955 mengisyaratkan dibolehkannya bedah mayat dengan tujuan
kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan dokter, dan penegakan keadilan. Akan
tetapi kebolehan itu dibatasi sekedar dalam keadaan darurat menurut kadar
kepentingannya.
Dalam Alquran tidak
ditemukan ayat yang mengandung secara pasti perihal bedah mayat. Akan tetapi,
terdapat beberapa ayat Alquran yang dapat dijadikan isyarat mengenai landasan
praktik bedah mayat ini. Seperti janji Allah SWT yang akan memperlihatkan
tanda-tanda kebesaran-Nya di angkasa luar (ufuk) dan yang ada dalam diri
manusia itu sendiri (QS. 41: 53).
Pengertian dalam diri manusia, menurut para mufasir. berarti di dalam tubuh manusia ada nilai ilmu pengetahuan dan kebenaran untuk diteliti.
Dalam Surah Al-Anbiya (21) ayat 35 Allah SWT menyatakan bahwa setiap yang bernyawa akan mengalami kematian, dengan kematian itu akan diuji unsur kejahatan dan kebaikan. Ayat ini berkaitan dengan pernyataan Allah SWT bahwa manusia adalah makhluk mulia (QS. 17: 70). Dengan kemuliaannya itu, ia perlu diperlakukan secara adil (QS. 4: 58).
Pengertian dalam diri manusia, menurut para mufasir. berarti di dalam tubuh manusia ada nilai ilmu pengetahuan dan kebenaran untuk diteliti.
Dalam Surah Al-Anbiya (21) ayat 35 Allah SWT menyatakan bahwa setiap yang bernyawa akan mengalami kematian, dengan kematian itu akan diuji unsur kejahatan dan kebaikan. Ayat ini berkaitan dengan pernyataan Allah SWT bahwa manusia adalah makhluk mulia (QS. 17: 70). Dengan kemuliaannya itu, ia perlu diperlakukan secara adil (QS. 4: 58).
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Bedah
Cadaver ?
2. Apa
Sejarah Bedah Cadaver Di Dunia Islam ?
3. Apa
Tujuan Bedah Cadaver ?
4. Apa
Hukum Islam Terhadap Bedah Cadaver ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa
mengetahui, memahami dan mampu Mendefenisikan Tentang Bedah Cadaver ( Bedah
Mayat ) Dalam pandangan Agama Islam.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Memahami Dan Mengetahui Pengertian Bedah Cadaver
2. Memahami Dan Mengetahui Sejarah Bedah Cadaver Di Dunia
Islam
3. Memahami Dan Mengetahui Tujuan Bedah Cadaver
4. Memahami dan Mengetahui Hukum Islam Terhadap Bedah
Cadaver
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1 Ayat-Ayat Al-Qur’an tentang Cadaver ( Bedah Mayat)
Perkataan bedah mayat dalam bahasa Arab disebut:
تَشْرِيْحُ جُثَثِ اْلمَوْ قَى.
Bedah mayat adalah suatu upaya tim
dokter ahli untuk membedah mayat, karena ada suatu maksud atau kepentingan
tertentu.
وَجَاهِدُوا
فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي
الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan berjihadlah kamu
pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.
(QS. Al-Hajj : 78).
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil…”. (QS. An-Nisa : 58).
Dalam ayat
menyatakan bahwa setiap yang bernyawa akan mengalami kematian, dengan kematian
itu akan diuji unsur kejahatan dan kebaikan dan ayat ini sangat berkaitan
dengan pernyataan ALLAH SWT bahwa manusia adalah makhluk mulia.
“Dan sungguh, kami telah memulaikan
anak Adam dan kami angkut mereka di darat dan di laut dan kami beri mereka
rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan meraka diatas banyak makhluk yang
kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”.
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ
جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan berjihadlah kamu pada jalan
Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj : 78).
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil…”.
(QS. An-Nisa : 58).
يَخْلُقُكُمْ
فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ خَلْقًا مِنْ بَعْدِ خَلْقٍ فِي ظُلُمَاتٍ ثَلاثٍ
“..Dia menjadikan kamu
dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan...”.
(QS. Az-Zumar : 6).
Beberapa dalil normatif menyatakan
dengan tegas tentang larangan merusak mayit, di antaranya di sebutkan dalam
hadits-hadits berikut:
حدثناهشام بن عمار. قال: حدثنا عبد
العزيز بن محمد الدراوردي. قال: حدثنا سعدبن سعيد, عن عائشة, قالت: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : كسر عظم الميت ككسره حيا
Artinya : Memecahkan tulang orang mati itu sama dengan
memecahkan tulangnya ketika masih hidup.
BAB III
GAMBARAN UMUM OBJEK PENULISAN
3.1 Pengertian Bedah Mayat (Cadaver)
Perkataan bedah mayat dalam bahasa
Arab disebut:
تَشْرِيْحُ جُثَثِ اْلمَوْ قَى.
Bedah mayat adalah suatu upaya tim
dokter ahli untuk membedah mayat, karena ada suatu maksud atau kepentingan
tertentu.
Jadi,
bedah mayat tidak boleh dilakukan oleh sembarangan orang, walaupun hanya
sekedar mengambil barang dari tubuh (perut) mayat itu. Sebab, manusia harus
dihargai kendatipun ia sudah menjadi mayat. Apalagi yang ada hubungannya dengan
ilmh pengetahuan dan penegakan hukum.
3.2 Tujuan
Bedah Mayat (Cadaver)
Di antara tujuan yang terpenting
bedah mayat adalah:
1. Untuk menyelamatkan janin yang masih
hidup dalam rahim mayat.
Pada prinsipnya ajaran Islam
memberikan tuntutan pada umatnya, agar selalu berijtihad dalam hal-hal yang
tidak ada ditemukan dan sebagai landasannya adalah firman Allah:
“Dan berjihadlah kamu
pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.
(QS. Al-Hajj : 78).
2.
Untuk
mengeluartkan benda yang berharga dari tubuh mayat
3.
Untuk
kepentingan penegakan hukum
Untuk menegakkan hukum yang adil
menurut Islahm, tertentu diserahkan kepada ahlinya, agar para ahli itu dapat menerapkannya
dengan cara yang adil dan benar, sebagai firman Allah:
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil…”. (QS. An-Nisa : 58).
Penghormatan terhadap si mayat memang perlu dijaga, tetapi
penegakan hukum lebih penting lagi, karena menyangkut dengan nasib seseorang
yang akan dijatuhi hukuman, berat atau ringan.
4. Untuk kepentingan penelitian ilmu
kedokteran
Salah satu
cabang ilmu pengetahuan yang ada relevansinya dengan penbedahan mayat, yaitu
ilmu anatomi, yang dasar-dasarnya sudah disebutkan dalam al-Quran sejak empat
belas abad yang lalu. Konsep inilah sebenarnya dikembangkanoleh sarjana muslim
pada abad pertengahan dan kemudian dipelajari oleh bangsa Barat lewat
penelitian ilmiah. Konsep tersebut berbunyi:
“..Dia
menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga
kegelapan...”. (QS. Az-Zumar : 6).
Adapun tiga kegelapan yang dimaksud ayat tersebut di atas
adalah: kegelapan dalam perut, kegelapan dalam rahim dan kegelapan dalam
selaput yang menutup anak dalam rahim.
3.3 Pendapat
para ulama tentang Bedah Cadaver
Dalam
menentukan hukum bedah mayat, tidak sama pendapat para ulama, sebagaimana
terlihat para uraian berikut:
a.
Imam
Ahmad bin Hambali
Seorang
yang sedang hamil dan kemudian dia meninggal dunia, maka perutnya tidak boleh,
kecuali sudah diyakini benar, bahwa janin itu masih hidup.
b. Imam Syafi’i
Jika
seorang hamil, kemudian dia meinggal dunia, dan ternyata janinnya masih hidup,
maka perutnya boleh dibedah untuk mengeluartkan janinnya. Begitu juga hukumnya,
kalau dalam perut si mayat itu ada barang yang berharga.
c.
Imam
Malik
Seorang
yang meninggal dunia dan di dalam perutnya ada barang berharga, maka mayat itu
harus di bedah, baik barang itu milik sendiri maupun milik orang lain. Tetapi
tidak perlu (tidak boleh dibedah), kalau hanya untuk mengeuarkan janin yang
diperkirakan masih hidup.
d.
Imam
Hanafi
Seandainya diperkirakan janin masih
hidup, maka perutnya wajib dibedah untuk mengeluarkan janin itu
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1 Pengertian
Perkataan
bedah secara kebahasaan berarti pengobatan penyakit dengan jalan memotong atau
mengiris bagian tubuh seseorang yang sakit atau operasi. Dalam bahasa Arab di
kenal dengan istilah Jirahah (جراحة) atau amaliyah bil al jirahah (عملية
بالجراحة)yang berarti melukai, mengiris atau operasi pembedahan. Bedah mayat
oleh dokter Arab dikenal dengan istilah التشريح جثث المو تى . Dalam bahasa Inggris dikenal istilah
autopsy , yang berarti pemeriksaan terhadap jasad orang yang mati untuk mencari
sebab-sebab kematian. Kata autopsi juga berasal dari bahasa Latin, autopsia
yang berarti bedah mayat. Dari pengertian secara etimologi dapat dikatakan
bahwa autopsi adalah pembedahan mayat guna pemeriksaan dalam.Dalam terminologi
ilmu kedokteran autopsi atau bedah mayat berarti suatu penyelidikan atau
pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat atau organ tubuh dan susunannya
pada bagian dalam setelah dilakukan pembedahan atau pelukaan, dengan tujuan
menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk kepentingan ilmu kedokteran
maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal. Dengan demikian secara umum
dapat dipahami bahwa bedah mayat adalah suatu upaya tim dokter ahli untuk
membedah mayat, karena dilandasi oleh suatu maksud atau kepentingan-kepentingan
tertentu.
4.2 Sejarah
Bedah Mayat (Cadaver) Di Dunia Islam
Sejak
zaman Rasulullah SAW, ilmu kedokteran merupakan ilmu yang dipelajari dengan
seksama. Haris bin Kaladah adalah seorang dokter zaman zahiliah yang masih
hidup di zaman Nabi SAW. Walaupun ia kafir, Nabi menyuruh kaum muslimin yang sakit berobat kepadanya.
Puteranya Nadar bin bin kaladah juga
menjadi dokter yang terkenal. Dari riwayat ini tampak sekali bahwa Nabi sangat
menghargai profesi dokter, meskipun ia bukan seorang muslim. Semangat ini tentu
ditangkap dengan baik oleh muslim pada generasi berikutnya untuk mengembangkan
ilmu kedokteran.Ilmu kedokteran adalah cabang ilmu biologi yang perkembangannya
sangat ditentukan oleh intensitas penelitian. Tanpa penelitian yang serius ilmu
ini tidak akan berkembang. Di dunia Islam selama 5 abad pertama peradaban
Islam, ada beberapa dokter wanita yang terkenal seperti Ukhtu al-Hufaid bin
Zuhur dan puterinya adalah dokter-dokter wanita yang bekerja di istana Khalifah
Raja al-Mansur di Andalusia. Di negeri Syam pada masa Bani Umayyah juga dikenal
seorang dokter wanita bernama Zainab
yang ahli dalam bidang penyakit mata dan ilmu bedah. Nama-nama besar dalam
bidang pengembangan ilmu kedokteran seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu sina, dan
Ibnu Hayyan dan lain lain yang berjasa dalam meletakkan dasar ilmu kedokteran
modern, juga melakukan penyelidikan dalam ilmu bedah dan anatomi tubuh meskipun
belum terlalu detil. Praktik bedah yang mereka lakukan adalah tindakan sebatas
penanganan yang dilakukan terhadap orang masih hidup, bedah tidak dilakukan
terhadap jasad orang yang sudah mati.
Tokoh
kedokteran muslim yang juga mengembangkan Ilmu bedah adalah Abu al-Qasim
al-Zahrawi al-Qurthubi (936-1013), yang dikenal di Erofa sebagai Abucasis. Dia
adalah ahli bedah dan dokter gigi muslim Spanyol pada masa pemerintahan
Abdurraman III (890-961). Karyanya yang berjudul al-Tasrif li man Arjaza ‘an
al-Ta’lifyang terdiri dari 30 jilid di antaranya menerangkan dengan jelas diagram dua ratus macam alat
bedah. Abucasis menjelaskan cara membersihkan luka dan perlunya post mortum
bagi beberapa jenis mayat untuk mengetahui sebab-sebab kematiannya. Abucasis
juga menulis Kitab al-Mansur . Hingga
abad 15 terjemahan buku ini digunakan dalam kuliah kedokteran di Universitas Tubingen Jerman.
Pada abad
13, sejarah juga mencatat seorang ahli kedokteran yang disebut-sebut The second
Avecenna (Ibnu Sina Kedua), bernama Ibnu Nafis (w. 1288). Selama hidupnya ia
menulis 80 buah buku, salah satu di antaranya adalah 8 jilid kitab Al-Syamil fi
al-Tibb (Ensiklopedi Kedokteran) yang terdiri dari 27.000 folio secara
keseluruhannya. Ia juga menulis hasil penelitiannya tentang fisiologi dan
anatomi tubuh.
Dari telaahan terhadap sejumlah
literatur yang menjelaskan tentang perkembangan ilmu kedokteran terutama ilmu
bedah, penulis tidak mendapatkan literatur yang menunjukan bahwa para dokter
muslim yang terkenal di masa lalu melakukan praktik bedah mayat dan menyelidiki
tubuh manusia seperti dewasa ini. Besar kemungkinan karena keahlian mereka
dalam pengobatan telah dapat mengatasi problem kesehatan masa itu, tanpa harus
melakukan penelitian dan pembongkaran terhadap mayat. Kemungkinan lain karena
mereka berpegang kepada landasan etik yang dipahami dari ajaran agama agar
tidak melakukan pengrusakan terhadap jasad mayat.
Terlepas
dari anggapan di atas, dewasa ini problematika di bidang kesehatan dan ilmu
kedokteran tentu lebih kompleks. Ilmu kedokteran membutuhkan penelitian dan
pengembangan yang lebih serius untuk memahami kompleksitas di dunia kedokteran.
Salah satu cara mengatasinya adalah dengan melakukan penelitian lebih intensif
terhadap fisiologi dan anatomi tubuh manusia. Dalam kondisi seperti itu,
tindakan autopsi adalah salah satu alternatif yang ditempuh.
4.3 Problematika
Problematika
yang muncul kemudian adalah apakah hukum Islam membolehkan dilakukan pembedahan
terhadap mayat. Beberapa dalil normatif menyatakan dengan tegas tentang
larangan merusak mayit, di antaranya di sebutkan dalam hadits-hadits berikut:
”Memecahkan tulang orang mati itu
sama dengan memecahkan tulangnya ketika masih hidup”.
dalam hadits lain:
”Memecahkan tulang orang mati itu
sama dengan memecahkan tulangnya ketika masih hidup dalam hal dosanya”.
Landasan
normatif hukum di atas mengisyaratkan keharaman melakukan pembedahan terhadap
mayat. Di sisi lain, ajaran normatif Islam juga menekankan perlunya mempelajari
ilmu pengetahuan termasuk ilmu kedokteran yang tujuannya untuk mencapai
kemaslahatan hidup manusia.
Apa yang dikemukakan di atas adalah
sebuah problematika. Penemuan baru sebagai hasil dari perkembangan teknologi
dan ilmu pengetahuan yang menjanjikan kemaslahatan menurut penulis tidak
seharusnya diabaikan begitu saja. Disiplin ilmu yang sangat penting seperti
ilmu bedah atau forensik dalam ilmu kedokteran perlu diselaraskan dengan
prinsip-prinsip hukum Islam, karena ia berada di antara perintah dan
larangan.
Tulisan
ini selanjutnya akan membahas masalah bedah mayat dengan pendekatanQawa’idul
Fiqhiyyah. Tujuannya untuk menentukan status hukum bedah mayat dengan
mengoperasionalkan kaidah-kaidah fiqih yang telah dirintis oleh para ulama di
masa lalu untuk menyikapi masalah-masalah fiqih kontemporer.
4.4 Tujuan
Bedah Mayat (Cadaver)
Di zaman
sekarang ini pengetahuan autopsi dengan berbagai kepentingannya pun dapat
diketahui dari aspek tujuannya di dunia kedokteran.
Ditinjau dari aspek tujuannya bedah
mayat terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu:
1)
Autopsi
anatomis adalah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan teori yang diperoleh
mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan yang lainnya sebagai bahan
praktikum tentang teori ilmu urai tubuh manusia (anatomi)
2)
Autopsi
klinis adalah pembedahan terhadap mayat yang meninggal di rumah sakit setelah
mendapat perawatan yang cukup dari para dokter. Pembedahan ini dilakukan dengan
tujuan mengetahui secara mendalam sifat perubahan suatu penyakit setelah
dilakukan pengobatan secara intensif terlebih dahulu, serta untuk mengetahui
secara pasti jenis penyakit yang belum diketahui secara sempurna selama ia
sakit.
3)
Autopsi
forensik adalah pembedahan terhadap mayat yang bertujuan mencari kebenaran hukum
dari suatu peristiwa yang terjadi misalnya pembunuhan, bunuh diri atau
kecelakaan.
Ada beberapa alasan yang melandasi
dilakukannya pembedahan terhadap mayat, antara lain :
1. Untuk Kepentingan Penegakkan Hukum
Penyelesaian
kejahatan terutama yang berkaitan dengan tubuh dan nyawa tidak selalu dapat
diselesaikan oleh ilmu hukum sendiri. Dapat dikatakan seperti itu karena memang
obyek kejahatannya adalah tubuh dan nyawa manusia, sedangkan tubuh dan nyawa
manusia adalah kajian bidang ilmu kedokteran. Dengan demikian seringkali untuk
kepentingan pembuktian dan penyelidikan sebab-sebab kematian lapangan ilmu
hukum meminta bantuan kepada bidang kedokteran
Salah
satunya Ilmu kedokteran dalam hukum pidana diposisikan sebagai ilmu pembantu
hukum pidana dimana dalam hal penyelesaian perkara pidana disebut sebagai ilmu
kedokteran forensik. Ilmu kedokteran forensik berperan dalam pengungkapan
kasus-kasus yang berakibat timbulnya luka dan kematian, tanpa bantuan ilmu
kedokteran forensik mustahil bagi ilmu hukum untuk dapat mengungkapkan misteri
kejahatan tersebut.
Tanda kematian merupakan cara yang
digunakan untuk menentukan seseorang telah benar-benar mati, banyak pendapat
yang mendefinisikan tanda kematian (sign of death) ini tetapi yang lebih
penting untuk diamati dari berbagai tanda kematian ada tiga macam yaitu lebam
mayat (livoris mortis), kaku mayat (rigor mortis), dan penurunan suhu mayat
(algor mortis). Kepentingan dari observasi pada tiga hal ini adalah untuk
menentukan sebab kematian, cara kematian, dan waktu atau saat kematian.
Untuk memperoleh kebenaran, maka
ilmu kedokteran memerlukan teori dan praktek yang lazim kita kenal dengan
autopsi atau bedah mayat. Proses autopsi inilah yang akan mengantarkan kepada
hal-hal yang dikenal dengan Seven “W” of Darjes, yaitu: perbuatan apa yang
telah dilakukan; di mana perbuatan itu dilakukan; bilamana perbuatan itu
dilakukan; bagaimana perbuatan itu dilakukan; dengan apa perbuatan itu
dilakukan; mengapa perbuatan itu dilakukan dan siapa yang melakukan. Hasil
pemeriksaan mayat dan bedah mayat (autopsi) disebut sebagai visum et repertum.
Hasil dari visum et repertum inilah yang dapat dijadikan bukti yang dapat
dilihat dan ditemukan.Adanya visum et repertum sebagai hasil dari penyelidikan
dapat memberi keterangan kepada penegak hukum untuk mengetahui pelaku tindak
pidana.
2.
Untuk
menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat
Jika
seorang ibu yang akan melahirkan meninggal dunia, sementara di dalam tubuhnya
terdapat bayi yang masih hidup, maka dalam kondisi seperti ini tim dokter
berusaha menyelamatkan bayi yang masih hidup tersebut dengan cara membedah
perut mayat, karena satu-satunya cara yang dapat diharapkan untuk menyelamatkan
bayi tersebut adalah dengan cara demikian.
Di dalam beberapa kasus meninggalnya
si ibu sebelum melahirkan antara lain adalah karena kecelakaan, akibat
pendarahan hebat yang mengakibatkan kekurangan darah, tidak lancarnya
persalinan, dan disebabkan oleh penyakit
tertentu.
3.
Untuk
mengeluarkan benda berharga dari mayat
Apabila
seseorang menelan sesuatu yang bukan miliknya, misalnya menelan permata orang
lain yang sangat berharga yang mengakibatkan ia meninggal dunia, selanjutnya
pemilik barang tersebut menuntut agar permata tersebut dikembalikan kepadanya.
Maka tidak ada cara lain yang ditempuh kecuali dengan membedah mayat itu untuk
mengeluarkan permata tersebut dari jasadnya.
4. Untuk keperluan Penelitian Ilmu
Kedokteran
Di dalam
dunia kedokteran terutama dewasa ini, para dokter untuk mengetahui suatu
penyakit yang belum diketahui dengan sempurna selama penderita sakit, ketika ia
mati untuk tujuan penelitian kedokteran dipandang perlu melakukan penyelidikan
yang intensif guna memastikan jenis penyakit tersebut, penyebabnya dan cara
mengatasinya. Tindakan yang dilakukan terhadap si mayat adalah dengan memotong
bagian tubuh tertentu untuk dijadikan sampel penelitian yang akan diperiksa di
laboratorium.
Dalam contoh lain, para mahasiswa
fakultas kedokteran untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih baik tentang ilmu
urai tubuh manusia (anatomi) biasanya melakukan praktikum dengan cara membedah
mayat. Dalam praktikum ini organ-organ tubuh yang penting seperti jantung,
paru-paru, pankreas, ginjal, otak, mata dan lain-lain yang akan dijadikan objek
penyelidikan diambil dari tubuh mayat. Tujuannya agar para mahasiswa tadi
dibekali dengan kecakapan teknis untuk mendukung pengetahuan teoritisnya. Hal
ini tentu saja dimaksudkan agar mahasiswa kedokteran suatu ketika menjadi lebih
siap untuk melaksanakan tugas-tugas profesionalnya.
4.5 Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Bedah Mayat
Pada
bagian ini akan dilakukan pembahasan tentang status hukum bedah mayat dalam
perspektif hukum Islam dengan menggunakan teori Qawa’id al-Fiqhiyah.
1. Untuk Kepentingan Penegakkan Hukum
Autopsi
untuk pemeriksaan mayat demi kepentingan pengadilan dengan maksud untuk
mengetahui sebab-sebab kematiannya di sebut juga obductie Di Indonesia masalah
bedah mayat atau autopsi diatur di dalam Pasal 134 Undang-undang No 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana yang berbunyi sebagai berikut:
a. Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk
keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindarkan, penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
b. Dalam hal keluarga keberatan penyidik wajib
menerangkan dengan jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya
pembedahan tersebut.
c. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada
tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak
diketemukan penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 133 ayat 3 Undang-undang ini.
Pasal 133 dari Undang-undang
tersebut berbunyi sebagai berikut:
1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan
peradilan menangani seorang korban baik keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran dan atau ahli lainnya.
2) Permintaan keterangan ahli
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis yang dalam surat
itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan
atau pemeriksaan bedah mayat.
3) Mayat yang dikirim kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara
baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang
memuat identitas mayat yang dilakukan dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan
pada ibu jari kaki atau bagian lain pada mayat.
Berpijak
dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa autopsi atau bedah mayat
adalah suatu pembedahan atau pemeriksaan pada mayat yang dilakukan oleh para
tim dokter ahli dengan dilandasi oleh maksud atau kepentingan tertentu untuk
mengetahui sebab-sebab kematian mayat.
Di dalam al-Qur’an maupun al-Hadits
tidak ditemukan anjuran yang tegas untuk melaksanakan autopsi untuk
keperluan-keperluan tertentu. Namun tindakan untuk melakukan autopsi terhadap
mayat, terutama untuk kepentingan pembuktian di pengadilan semangatnya dapat
diselaraskan dengan firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 58 yang berbunyi:
Artinya : Dan apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Semangat
ayat ini dapat ditarik bahwa dalam menjatuhkan hukum harus mengedepankan
keadilan, meskipun misalnya untuk tegaknya keadilan tersebut ditempuh melalui
pembedahan mayat (autopsi) dan pembongkaran kuburan si mayat. Sebab pada mayat
itu terdapat bukti-bukti yang dapat mengantarkan penegak hukum sampai kepada
sebuah kesimpulan yang meyakinkan sehingga dapat memutuskan hukuman yang adil.
Untuk mengetahui status hukum
terhadap tindakan autopsi mayat yang
digunakan sebagai pembuktian hukum di pengadilan dengan menggunakan teori
Qawa’id al-Fiqhiyah dapat diterapkan kaidah-kaidah berikut:
a. Kaidah Pertama :
يتحمل الضرر الخاص لأجل الضرر
العام
Berdasarkan
kaidah di atas, kemudaratan yang bersifat khusus boleh dilaksanakan demi
menolak kemudaratan yang bersifat umum. Sebuah tindakan pembunuhan misalnya,
adalah tergolong tindak pidana yang mengancam kepentingan publik atau
mendatangkan mudharat ‘am. Untuk menyelamatkan masyarakat dari rangkaian tindak
pembunuhan maka terhadap pelakunya harus diadili dan dihukum sesuai ketentuan
hukum yang berlaku. Bukti-bukti atas tindakan pembunuhan yang dilakukannya
harus diperkuat agar ia dapat dihukum dan jangan sampai bebas dalam proses
pengadilan, sungguhpun untuk pembuktian itu harus dengan melakukan autopsi atau
membedah mayat korban.
Dari
penerapan kaidah ini, dapat disimpulkan bahwa bedah mayat dalam hukum Islam
diperbolehkan dengan tujuan untuk memelihara kemaslahatan masyarakat atau
menolak kemudaratan yang bersifat publik, seperti tindak pidana pembunuhan.
Dengan kata lain, autopsi yang mendatangkan kemudaratan khusus (karena merusak
mayat), boleh dilakukan untuk melindungi masyarakat dari kemudaratan yang lebih
besar, yakni bebasnya seorang pembunuh
karena tidak terbukti jika tindakan autopsi tidak dilakukan.Di dalam hukum
Islam, suatu tindakan yang dilandasi oleh alasan untuk menjamin keamanan dan
keselamatan diri orang yang hidup harus lebih diutamakan daripada orang yang
sudah mati.
b. Kaidah Kedua :
الضرورات تبيح المحظورات
Dari
kaidah kedua dapat dipahami bahwa persoalan darurat itu membolehkan sesuatu
yang semula diharamkan.
Berangkat dari fenomena di atas,
maka autopsi forensik sangat penting kedudukannya sebagai metode bantu
pengungkapan kematian yang diduga karena tindak pidana. Dengan melaksanakan autopsi forensik maka
dapat dipecahkan misteri kematian yang berupa sebab kematian, cara kematian,
dan saat kematian korban. Visum et repertum sebagai laporan dari pelaksanaan
autopsi forensik mempunyai daya bukti dalam proses peradilan sebagai alat bukti
surat, keterangan ahli, dan petunjuk. Seorang Hakim tidak dibenarkan
mengabaikan hasil visum et repertum apabila memang hanya visum tersebut adalah
bukti satu-satunya dan atau apabila alat bukti yang lain bertentangan dengan
isi visum.
Dalam
proses pembuktian, autopsi adalah tindakan memeriksa tubuh mayat, yang meliputi
pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses
penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan
tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat
antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.
Di dalam sebuah negara atau bangsa
tegaknya keadilan hukum adalah hal yang sangat diperlukan dalam mengatur
masyarakat. Penegak hukumlah yang paling bertanggungjawab atas tegaknya
keadilan hukum di tengah masyarakat.
Berkaitan
dengan autopsi, maka penegak hukum harus bekerja sama dengan dokter ahli bedah
yang dapat dipercaya kejujurannya, agar mayat tersebut mendapatkanvisum et
repertum, sehingga dari hasil penyelidikannya itu memberi keterangan yang
sebenarnya kepada penegak hukum untuk mengetahui dengan baik suatu perbuatan
tindak pidana.
Menjatuhkan sanksi hukum terhadap si
terdakwa tidak boleh dihalang-halangi oleh siapapun dan alasan apapun,
misalnya; pelaku kejahatan tidak diketahui, tidak ada tanda-tanda yang dapat
dijadikan bukti, pembuktian melalui penyelidikan biasa sulit dilakukan, maka
dalam kondisi seperti ini autopsi atau bedah mayat dapat dilakukan sebagai
wahana penyelidikan karena dianggap sangat diperlukan dalam penegakan hukum.
Hajat inilah yang membolehkan hal-hal yang diharamkan sebagaimana maksud kaidah
fiqhiyah berikut:
c. Kaidah Ketiga :
لاَحَرَامَ مَعَ الضَّرُورْاتِ
وَلاَكَرَاهَةمَعَ الْحَاجَةِ
Kaidah
ketiga ini menyatakan bahwa tiadanya keharaman dalam kondisi darurat, seperti
halnya tidak adanya kemakruhan dalam kondisi hajat. Maka jika autopsi di atas
dipahami sebagai hal yang bersifat darurat, artinya satu-satunya cara
membuktikan, maka autopsi itu sudah menempati level darurat, dan karena itu
status hukumnya dibolehkan.
d. Kaidah Keempat
اَلْحَاجَة تَنزلُ
مَنْزِلَةَالضَّرُوْرَةِ عَامَّةِ كَانَتْ اَوْخَاصَّةِ
Kaidah
keempat di atas dapat memperkuat argumentasi kaidah sebelumnya. Maksudnya
kaidah ini adalah hajat menempati kedudukan darurat, baik hajat umum maupun
hajat yang bersifar perorangan.
Dari kaidah-kaidah di atas, dapat
dipahami bahwa autopsi untuk kepentingan penegakkan hukum itu karena keperluan
yang berada pada level hajat statusnya diperbolehkan di dalam hukum Islam.
2. Bedah Mayat Untuk Menyelamatkan
Janin yang Masih Hidup di dalam Rahim Mayat
Dari
tujuan atau motivasi di atas tidak ada didapatkan dalil dari Al-Qur’an dan
Al-Hadits yang menyatakan larangan atau suruhan untuk melakukan tindakan
autopsi terhadap mayat dalam kondisi demikian. Namun pada prinsipnya ajaran
Islam memberi tuntutan kepada umatnya untuk berijtihad dalam sesuatu masalah
yang tidak ada nash-nya, sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hajj
ayat 78 yang berbunyi:
Dan berjihadlah kamu pada jalan
Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
Dalam menentukan status hukum
masalah autopsi untuk menyelamatkan janin yang masih hidup di dalam rahim mayat
dapat diterapkan kaidah-kaidah fiqhiyah berikut:
a. Kaidah Pertama :
اِذَاتَعَارَضَ مَفْسَدَتَان رُوْعِيَ
اَعْظَمَهَاضَرَارًابِارْتِكَابِ اَخَفِهِمَا
Dengan
kaidah tersebut dapat dipahami bahwa apabila dua mafsadah bertemu dalam suatu
waktu, dan kedua mafsadah itu saling bertentangan, maka harus diperhatikan mana
yang lebih besar mudaratnya dengan mengerjakan yang lebih ringan mudaratnya.
b. Kaidah Kedua :
Kaidah yang sejalan dengan maksud
kaidah pertama di atas adalah :
الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف
Jika kedua
kaidah di atas diaplikasikan dalam kasus autopsi untuk menyelamatkan janin yang
masih hidup dalam perut, maka pilihan yang harus diambil adalah kemaslahatan
orang yang hidup. Artinya kemaslahatan janin harus lebih diutamakan dari pada
orang yang mati (mayat). Kasus ini adalah kasus dua darurat yang bertemu dalam
satu keadaan, maka harus dipilih darurat yang lebih besar yaitu melakukan
autopsi dan menyelamatkan janin yang ada dalam perut mayat. Tindakan
autopsi untuk tujuan atau motivasi
menyelamatkan janin dalam tubuh mayat berdasarkan kedua kaidah di atas
diperbolehkan menurut hukum Islam.
Bahkan dalam persoalan ini
Al-Syiraji berpendapat bahwa wajib hukumnya membedahkan mayat bila mengandung
janin yang masih hidup. Karena janin tersebut tidak berdaya untuk menyelamatkan
dirinya, maka orang hiduplah yang berkewajiban untuk menolongnya meskipun
dengan melalui pembedahan mayat.
Tetapi
kaidah fiqih juga membatasi tindakan yang dilakukan terhadap mayat yaitu tidak
boleh melewati batas-batas tertentu atau melewati batas-batas yang menjadi
hajat diadakannya pembedahan itu, seperti bunyi kaidah berikut:
c. Kaidah Ketiga :
ماأبيح للضرورات بقدر بقدرها
Yang
dipahami dari kaidah ketiga ini, dalam melakukan autopsi dibolehkan hanya
sebatas keperluan yang ada hubungan dengan keperluan untuk menyelamatkan janin.
d. Kaidah Kempat :
Dalam
melakukan bedah terhadap mayat yang mengandung janin yang masih hidup, tidak
boleh berlebihan atau tidak boleh membedah bagian yang tidak ada kaitannya
dengan hajat tersebutDari kaidah di atas dipahami apabila melampaui kebutuhan
yang menjadi hajat maka hukum bedah mayat menjadi haram.
3. Autopsi Yang Bertujuan untuk
Mengeluarkan Benda yang Berharga dari Mayat
Pada
bagian terdahulu telah diuraikan contoh kasus ini, yakni seseorang menelan
sesuatu yang bukan miliknya yang mengakibatkan ia meninggal dunia, selanjutnya
pemilik menuntut agar barang yang ada diperut mayat dikembalikan kepadanya.
Dalam hal seperti di atas tidak ada
cara lain yang bisa ditempuh kecuali dengan membedah mayat itu untuk
mengeluarkan barang yang ada di perut mayat.
Melihat
persoalan seperti kasus di atas, perlu ditentukan status hukum bedah mayat
tersebut apakah dibolehkan atau diharamkan. Berdasarkan ajaran Islam haram
hukumnya seseorang menguasai suatu barang yang bukan haknya. Tindakan yang
demikian akan menjadi ganjalan bagi orang yang mati di alam sesudah kematiannya
karena ia masih terkait dengan hak orang lain.
Dalam keadaan mati, orang tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Oleh karena itu orang hiduplah yang berkewajiban untuk
menolongnya, terutama sekali keluarganya yang harus memprakarsai pembedahannya
untuk mengeluarkan barang milik orang lain tersebut dari perutnya guna
mengembalikan kepada pemiliknya.
Dengan
pendekatan menggunakan Qawaid al-Fiqhiyyah terhadap persoalan di atas, status
hukum bedah mayat dapat ditentukan menggunakan kaidah yang sama seperti di
atas, antara lain:
a. Kaidah Pertama :
اِذَاتَعَارَضَ مَفْسَدَتَان رُوْعِيَ
اَعْظَمَهَاضَرَارًابِارْتِكَابِ اَخَفِهِمَا
b. Kaidah Kedua :
الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف
Kasus di
atas adalah kasus إرتقب أخف الضررين artinya, mengambil darurat yang lebih
ringan di antara dua pilihan yang sama-sama darurat. Darurat pertama adalah
keharaman merusak mayat berhadapan dengan darurat kedua, yaitu kesengsaraan si
mayat jika barang diperutnya tidak diambil dan dikembalikan kepada pemiliknya
dengan cara dibedah.
Dengan masalah seperti itu pilihan
untuk membedah mayat dan mengembalikan barang kepada pemiliknya adalah yang
harus diambil, karena mudaratnya lebih ringan. Dengan demikian tindakan
autopsi untuk tujuan di dimaksud
berdasarkan kedua kaidah yang telah disebutkan di atas diperbolehkan menurut
hukum Islam.
Dari penjelasan di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa boleh hukumnya bahkan wajib hukumnya membedah mayat
apabila dalam perutnya terdapat batu permata orang lain dan tidak diwajibkan
bila batu permata atas miliknya sendiri.
4. Bedah Mayat Untuk Keperluan
Penelitian Ilmu Kedokteran
Menurut
Umar Hubais mempelajari ilmu kedokteran adalah wajib atau fadhu kifayah bagi
umat Islam, karena Rasulullah sendiri berobat, memberi obat serta menganjurkan
untuk berobat.
Salah satu
bagian ilmu kedokteran yang sangat penting adalah ilmu bedah. Ilmu ini
menghajatkan pengetahuan yang luas dan dalam tentang anatomi dan fisiologi tubuh
manusia. Untuk mengembangkan ilmu ini maka penyelidikan terhadap organ tubuh
manusia menjadi sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan, jika perlu mengadakan
pembedahan dan pemeriksaan tubuh mayat, memeriksa susunan syaraf, rongga perut
dalam rangka. Hal yang demikian dimaksudkan agar seorang tenaga medis (dokter)
dapat menunaikan tugas profesionalnya dengan baik, memberikan pengobatan dan
menyembuhkan penyakit yang diderita pasien.Untuk keperluan tersebut, para
dokter dan mahasiswa kedokteran kadang-kadang membutuhkan mayat sebagai sarana
penelitian untuk pengembangan ilmu kedokteran. Yang menjadi masalah apakah
tindakan bedah mayat untuk kepentingan penelitian dan ilmu itu dibolehkan atau
diharamkan dalam ajaran Islam.
Penulis
berpendapat bahwa ajaran Islam sangat menekankan perlunya mengembangkan ilmu
pengetahuan termasuk ilmu kedokteran. Pengembangan ilmu kedokteran tentu
bertujuan untuk mensejahterakan umat manusia dan misi Islam secara umum sejalan
dengan tujuan tersebut.
Dalam tinjauan Qawaid al-Fiqhiyah,
status hukum bedah mayat untuk keperluan yang demikian dapat ditentukan dengan
menggunakan kaidah-kaidah berikut:
a. Kaidah Pertama :
مالا يتم الواجب الا به فهو واجب
Melalui
kaidah pertama ini, dapat dipahami bahwa sebuah kewajiban yang tidak sempurna
pelaksanaannya tanpa adanya dukungan sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya
wajib pula. Dalam kasus di atas, apabila seorang dokter tidak akan bisa
menjalankan tugas-tugasnya dengan baik kecuali bila ia memahami seluk-beluk
anatomi tubuh manusia, maka untuk kepentingan yang sesuai dengan profesinya ia
harus memahami seluk beluk anatomi tubuh manusia, meskipun dengan jalan
melakukan pembedahan terhadap mayat.
b. Kaidah Kedua :
Kaidah ini memperkuat kaidah
pertama, yaitu:
للوسائل حكم المقاصد
Melalui
kaidah ini dapat dijelaskan, bahwa sebuah sarana hukumnya sama dengan tujuan.
Misalnya agama Islam mewajibkan kepada umatnya untuk memelihara kesehatan, maka
mempelajari ilmu tentang kesehatan hukumnya wajib pula. Konsekuensi lanjutnya
adalah wajib pula menyiapkan prasarana dalam menuntut ilmu kesehatan, termasuk
sarana praktikum seperti mempelajari anatomi tubuh manusia.
c. Kaidah Ketiga :
Kaidah ini adalah bersifat umum,
namun dalam kasus ini dapat juga digunakan, antara lain:
d. Kaidah Keempat :
الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف
Dengan
menggunakan kaidah-kaidah seperti telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan
bahwa autopsi atau bedah mayat untuk keperluan penelitian ilmu kedokteran
hukumnya boleh, bahkan jika dipahami sebagai kondisi yang berada pada level
hajat maka hukumnya menjadi wajib.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari semua penjelasan makalah hadits di atas maka kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa sesorang yang sudah meninggal dunia boleh dibedah
(diotopsi) mayatnya tersebut, itu dikarenakan empat hal:
1.
Untuk
menyelamatkan janin yang masih hidup dalam rahim mayat
2.
Untuk
mengeluartkan benda yang berharga dari tubuh mayat
3.
Untuk
kepentingan penegakan hokum
4.
Untuk
kepentingan penelitian ilmu kedokteran
5.2 Saran
Mahasiswa yang mempelajari
makalah ini memahami apa hukum bedah cadaver ( bedah mayat ) dan bisa
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul,
Taufiq, et.al. (Ed), Ensiklopedi Tematik Dunia Islam 4 : Pemikiran Dan
Peradaban, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002
Abu Dawud,
Sunan Adi Daud, Beirut : Dar al-Fikri, 2008
Al-Nadwi,
Ali Ahmad, Qawa’idul Fiqhiyah, Damaskus :Darul kalam, 1420 H Hasan, Muhamad
Ali. 1997. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
As-Suyuthi,
Imam. Al-Asybah Wan Nazhaair. Beirut
: Darul Fikri
Kamal,
Mahmud. 1991. Bedah Mayat dari Segi Hukum
Islam. Jakarta : Pustaka Panjimas.